Kamis, 21 Juni 2012

Shan




Aku lebih senang mengurung diri dikamar. Apalagi saat diriku merasakan sakit yang luar biasa. Sakit karena penyakitku, atau pun karena masalah lain yang sangat membuat hatiku merasa sangat sakit. Tak semua masalah aku bisa selesaikan dengan otakku, aku punya keterbatasan yang sangat membuatku lebih sering manangis dan mengurung diriku dikamar. Ya, hampir semua masalah aku selesaikan dengan menangis. Menurutku menangis adalah suatu hal yang sangat membuatku merasa sangat tenang. Walaupun nyatanya menangis hanya menambah masalah dalam hidupku. Terkadang aku sering dianggap autis oleh tetangga, teman sekolah, bahkan saudaraku sendiri. Mereka berpikir aku adalah seorang anak yang memiliki keterbelakangan mental yang hanya bisa menangis sepanjang harinya, menghabiskan waktu dikamar sambil menatap keluar jendela yang berada di pojok kamar sambil mendengarkan musik yang selalu diputar berulang kali. Ini adalah caraku untuk tenang, untuk bisa mengedalikan pikiranku yang terkadang membuatku ingin menyudahi hidupku yang sangat kelam ini.
Namaku Shan, aku adalah seorang remaja perempuan yang kini duduk di bangku kelas 2SMA. Aku berasal dari keluarga yang sangat memiliki emosi yang tinggi, yang lebih mengedepankan kekerasan dalam mencari jalan keluar dalam suatu masalah. Aku pun bukan berasal dari keluarga yang kaya raya, aku berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahku adalah seorang wiraswata, dan ibuku seorang guru SD. Aku memiliki 2 orang adik, perempuan dan laki-laki, dan seorang kakak laki-laki yang kini sudah duduk di bangku universitas.
Suatu hari, lagi dan lagi aku mendapati ayah dan ibuku sedang cek-cok. Lagi lagi mereka bertengkar, entah karena masalah apa. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, yang rasanya tidak udara segar yang aku hirup. Yang aku rasa hanya udara panas yang sangat membuat hidungku terasa sangat panas. Mungkin karena emosi mereka yang tak terkendali sehingga udara di sekelilingku terasa sangat panas. Pada saat itu juga aku mendapati adik lelakiku terluka, bagian tangannya terus mengeluarkan darah kental yang terus mengucur sampai-sampai menutupi baju seragam putih SDnya. Aku pun berlari kecil, memeluk erat tubuh adikku dan menanyakan apa yang terjadi, masalah apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Dengan nada terengah-engah aku pun menanyakan hal ini pada adikku.
“Ada apa sebenarnya Far?”
 Adikku itu tidak menjawab sedikit pun. Mengucapkan sepatah atau duapatah pun tidak. Untuk mengangkat kepalanya pun rasanya enggan. Isak tangisya yang terus menerus semakin mengeras itu benar-benar membuat hatiku terpukul. Aku sangat sedih kala mendapati adik yang aku cintai menangis, apalagi sampai terluka. Aku berlari ke arah ayah dan ibu. Aku kesal, sangat kesal.
“Apa yang ibu dan ayah lakukan? Kalian memukul Gafar? Gafar terluka!”
Tanpa sadar aku telah lancang, aku berteriak ke arah mereka. Aku bingung, aku sangat benci melihat adikku seperti ini. Walaupun aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tanpa aku sangka, tangan ayah yang besar itu melayang kearah pipiku. Seketika ruang tamu dirumahku terasa sangat hening. Ayah dan Ibu terdiam sekejap sambil melihat kearah ku dengan wajah datar. Aku pun segera berlari ke kamar, sambil memegangi pipiku yang saat ini terasa kram. Aku pun menangis lagi, entah untuk keberapa kali semasa aku hidup ini. Ayah dan Ibu memang sering memukul siapa pun dirumahku yang nakal, yang tak menurut apa kata mereka. Kecuali kakak lelakiku. Ayah dan ibu sangat menyayangi kakakku itu, karena kakakku adalah seorang anak yang pintar. Ia mendapat beasiswa di universitasnnya yang sekarang. Mungkin menurut mereka mendidik anak-anaknya dengan cara yang keras dapat membuat anak-anaknya itu menjadi seorang anak yang penurut. Tetapi, apa mereka tak memiliki cara lain? Mengapa mereka harus mengedepankan kekerasan dalam menididik anak-anaknya?
Tak hanya sekali duakali ayah memukul pipiku, tetapi sangat sering. Setelah ayah menampar pipiku, tanpa meminta maaf atau melirikku sedikit pun, ayah hanya duduk diam sambil meredakan emosi pada jiwanya yang sudah terkendali oleh setan-setan kejam. Hal ini aku rasakan sejak duduk di kelas 6SD, mereka sering memarahiku dengan kata-kata kasar sepeti ‘tolol’, ‘bodoh ‘ dan ‘anak tak berguna’, dan juga dibarengi dengan pukulan-pukulan keras yang melayang ke tubuhku yang banyak meninggalkan bekas biru, bekas pukulan dari tangan mereka.
Aku pun menangis, lagi dan lagi. Dinding kamar, kasur, meja belajar, lampu gantung dan benda lainnya yang ada di kamarku menjadi saksi bisu, mereka mengetahui dengan sangat jelas bagaimana seringnya aku menangis. Benda-benda di kamarku adalah sahabatku yang paling setia, mereka selalu mendengarkan ceritaku saat aku merasa sangat lelah, saat aku merasa sangat sedih. Entah pada siapa lagi aku harus bercerita, entah pada siapa lagi aku harus menangis, mengadu akan semua masalah dihidupku yang telah berlangsung dengan kelam ini. Mereka selalu ada disampingku untuk mendengar cerita-cerita tragis dalam hidupku, tak seperti teman-temanku yang lain. Mereka datang dan pergi begitu saja. Mereka menjauhiku saat tahu bahwa badanku banyak dilukisi tanda biru lebam bekas pukulan ayah ibuku. Mereka takut aku akan menyakiti mereka untuk dijadikan pelampiasan. Tak banyak yang aku perbuat, aku hanya bisa terdiam dan merenungi semua yang telah terjadi. Ini adalah nasib seorang remaja perempuan yang didik sangat keras oleh orangtuanya.
Walaupun ayah dan ibuku mendidikku dengan keras, tetapi rasa sayangku pada mereka tak pernah pudar. Walaupun ayah sering memukulku, walaupun ibu sering menghujat dan mencaciku dengan kata-kata yang kasar. Aku sangat sayang pada mereka, rasa sayangku kepada mereka bahkan melebihi rasa sayangku pada diriku sendiri. Entahlah, aku tak tau mereka menyanyangiku seperti ini atau tidak. Walau bagaimana pun, mereka adalah orangtuaku yang telah membesarkan dan mebimbingku walaupun dengan cara yang keras. Dan aku pun tidak tahu ikhlas atau tidakkah mereka membesarkanku.
Tetapi , pada suatu hari, aku muak dengan semua ini. Aku muak dengan hidupku yang selalu tersiksa, aku yang selalu dijauhi oleh siapapun yang ada di dekatku, aku yang selalu salah dalam segala situasi yang sangat menyiksa batinku, luka yang terus bertambah setiap harinya di badanku, keluarga yang selalu mendidikku dengan keras, orangtua yang selalu mencaciku seperti mencaci seorang anak tikus, dan aku muak dengan hujatan keras yang menuding diriku adalah seorang anak pungut. Aku lelah. Aku pun berlari kecil kearah gudang yang berada diatas loteng rumahku, dan aku membiarkan tubuhku berada di tengah gudang yang sangat gelap itu, di tambah dengan kegelapan malam yang saat itu tak dihiasi dengan bintang sedikitpun. Aku melawan sejuta rasa takutku, Aku ingin mengakhiri hidupku secara perlahan, agar aku masih bisa mengetahui keadaan mereka, keluargaku yang sangat aku cintai.  
Aku ingin mengeram diri  didalam gudang selama apapun, sepanjang hidupku yang kini tersisa. Penyakit jahat yang menggeliat di paru-paruku yang kini sudah bocor, kini aku hanya bergantung pada alat yang dapat menyelamatkan hidupku. Yang membantu paru-paru agar terus bekerja, agar aku dapat terus bernafas. Hidupku yang sangat bergantungan dengan obat, hidupku yang sangat lemah, hidupku yang tak pernah bisa mengikuti olahraga, atau pun berjalan dengan jarak dekat sekalipun. Tetapi aku harus menahannya, aku harus bisa melakukkan itu semua, aku tak ingin terlihat seperti seorang anak yang sakit.
Sudah dua hari ini aku mengeram diri di gudang gelap yang di penuhi tikus dan laba-laba, yang terlihat sangat kotor. Mungkin ini adalah tempat paling kotor yang pernah ada. Aku ingin mengetahui bagaimana reaksi keluargaku, teman-temanku, dan guru-guruku saat aku hilang. Aku dapat mendengar percakapan apapun yang terjadi dibawah dari gudang yang terletak di loteng ini. Tetapi nyatanya, tak ada satu pun keluargaku yang mencariku. Kecuali adik lelakkiku Gafar. Ia menanyakan keberadaanku pada Shefira, adik perempuanku. Tetapi tak ada jawaban. Aku dapat mendengar jelas adikku Gafar menanyakan keberadaanku pada Shefira. Aku pun menangis lagi, mataku sering telihat sembab. Karena terlalu sering aku menangis.
Aku tak mengerti apa yang ada di pikiran mereka. Mereka tak mencariku, mereka tak mengetahui akan hilangnya salah satu anggota keluarga mereka. Kecuali Gafar. Ibu pernah mencaciku saat kenaikan kelas sewaktu aku SMP saat hasil nilai sudah dibagikan, ia mencaciku dengan kata kasar. Di depan guru dan teman-teman sekelasku “dasar anak bodoh! Tak ada gunannya keberadaan kamu! Dasar anak tolol!”
Seketika air mataku bercucuran seiring langkah kaki ibuku yang pergi meninggalkanku di kelas. Aku pun tertunduk, tak ada lagi yang bisa aku katakan. Hanya satu-satunya sahabatku saat itu yang merangkulku dan menghapus air mataku. Aku pun memeluknya dengan sangat erat. Ibu sangat membenciku, ia menganggap aku adalah seorang anak yang bodoh, yang tidak cerdas dan pintar seperti kakak lelakiku, dan adik-adikku.  Padahal aku menderita penyakit Obsessive Compulsive Disorder atau OCD. Penyakit ini menyerang bagian mental atau jiwa yang ditandai dengan pemikiran yang selalu berulang-ulang . Dan mengingat terus menerus peristiwa yang sudah berlalu dan melupakan peristiwa yang baru saja terjadi. Ini adalah faktor utama yang membuatku sering mendapatkan nilai jelek disekolah. Dan ayah ibuku tak mengetahui akan hal ini.
Pikiranku menerawang jauh saat itu, aku membuka kembali memori-memori yang mulanya terkunci rapi di otakku. Aku mengingat bagaimana bahagianya aku saat aku masih kecil, mereka selalu mencium pipiku dengan lembut, memangku tubuhku yang mungil setiap kali mereka pulang bekerja, memelukku dengan sangat erat, menyuapiku nasi goreng yang sangat aku sukai, membacakanku dongeng setiap malam saat aku hendak tidur, dan mengucapkan ‘Selamat tidur Shan’. Sekarang tindakan itu sangat asing bagiku, aku tidak pernah merasakan itu lagi. Air mataku terasa semakin deras setelah mengingat kembali kejadian-kejadian indah yang pernah terjadi saat dulu. Aku pun larut dalam keadaan malam yang sunyi itu, aku tak lagi mendengar suara ayah, ibu adik, dan kakakku. Mungkin mereka sudah terlelap tidur.
Esoknya. Aku bangun, sengaja aku bangun padahal aku merasa sangat lemas. Sudah hampir 3hari aku tak memakan makanan yang bernutrisi. Aku hanya memakan sebungkus chiki yang aku sisakan saat istirahat di sekolah 3 hari lalu. Aku hanya memakan sedikit demi sedikit chiki itu agar dapat terus tersisa sampai selamanya aku akan mengeram diri di gudang ini. Chiki yang isinya tak seberapa. Pagi ini keluarga yang sangat aku cintai nampaknya sangat tentram. Aku tak lagi mendengar cek-cok antara ayah dan ibu, dan tangisan dari adik-adikku. Ini yang membuatku kembali menangis, keluarga ini rasanya sangat tentram tanpa kehadiranku disitu. Tanpa hadirnya diriku yang setiap pagi selalu memecahkan gelas yang berisi teh hangat yang sengaja aku buatkan untuk ayah. Gelas itu selalu pecah karena aku merasa sangat lemas setiap pagi, dan nafasku tersendat-sendat.
Tetapi , aku merasa senang sekali walaupun tanpa kehadiranku di tengah mereka, mereka rasanya lebih tentram dan damai.
Malamnya tubuhku terasa lemah, bahkan lebih lemah dari biasanya. Aku merasa sangat sulit untuk bernafas, untuk menghirup udara yang sangat aku butuhkan walaupun hanya sedikit saja. Aku pun kembali menangis, tetapi nyatanya tangisanku tak lagi membuatku tenang. Aku kehilangan cara, tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Sampai akhirnya, terdengar bunyi ketukan pintu di bawah. Aku pun mencoba untuk tenang. Aku pun mendengar percakapan yang terjadi di bawah. Ternyata itu dari guruku disekolah, aku merasa sangat senang sekali. Ternyata masih ada yang menyadari akan hilangnya aku. Aku pun mencoba mendengar kembali percakapan antara ibu, ayah dan guruku.
Maaf pak bu, saya datang malam-malam. Saya hanya ingin menyampaikan perintah dari kepala sekolah sekolahan Shan. Kepala sekolah SMA Citrapadu memutuskan untuk mengeluarkan Shan dari sekolah. Karena Shan sudah 3hari tidak kesekolah dan tidak memberi keterangan akan ketidak hadirannya selama 3hari ini. Maaf apabila keputusan ini kami layangkan kepada Shan. Karena SMA Citrapadu sangat mengedepankan ke disiplinan murid dalam absensi. Dan juga, Shan termasuk anak yang memiliki nilai yang sangat kecil. Mungkin bapak dan ibu bisa menyekolahkan Shan di sekolah lain, saya khawatir Shan akan tidak naik kelas. Dan dia sangat sulit untuk beradaptasi dengan temannya yang lain. Maaf sekali lagi sudah menganggu bapak dan ibu malam hari seperti ini.
Aku hanya terdiam terpaku, mulutku yang menganga lebar menandakan bahwa aku tak mempercayai hal ini. Lagi-lagi aku pun menangis, sambil memeluk kedua kakiku yang terasa sangat dingin. Suasana disana sangat hening seiring berlalunya guruku yang datang untuk memberikan kabar buruk, bahkan sangat buruk.
Aku mendengar percakapan ibu dan ayah yang terdengar sangat marah, dan mereka baru menyadari akan kehilanganku selama 3hari ini. Isak tangisku semakin mengeras, tetapi sepertinya ayah dan ibuku tak pernah menghiraukan bahkan mungkin sengaja tak mendengar. Tak ada sedikitpun niat mereka untuk mecari dimana keberadaanku. Aku pun merebahakan tubuhku pada kardus yang sudah aku susun rapi di gudang usang itu, nafasku semakin tersendat, dan badanku terasa sangat benar-benar lemas. Aku pun pasrah jika esok ayah dan ibu memergokiku sedang tertidur gudang dan memukuliku denga sapu lidi, atau mungkin mereka akan menghabiskan nyawaku.
Aku pun membiarkan tubuhku yang sudah sangat terasa lemah dengan nafas yang tersendat-sendat di gudang gelap dan kotor itu. Dengan harapan, ada keajaiban yang datang pada orangtuaku dan merubah mereka menjadi orangtua yang tidak memperlakukan anak-anaknya dengan perlakuan yang  kasar lagi, dan dapat menyanyangi anak-anak yang telah mereka besarkan sampai detik ini.
Esoknya perutku terasa sangat lapar, segera akupun mencari chiki sisa bekas kemarin. Ternyata, hanya tersisa 3biji. Mau tak mau aku harus melahap habis persediaan makanan yang aku sisakan untuk sisa hidupku. Tetapi akhirnya aku pun merubah keputusanku untuk melahap habis sisi chikiku, aku menyisakan 2biji. Aku hanya memakan satu. Rasa haus mulai menerpaku, tenggorokanku yang kering membuat tenggorkanku terasa sangat sakit. Aku hanya bisa menelan ludah untuk mengatasai rasa hausku.
Badanku yang sudah 4hari tak aku mandikan, bajuku yang mungkin sudah bau tercampur air kencing tikus, rambutku yang sangat kotor yang menyatu dengan debu dan kotoran tikus. Gudang yang berada di atas loteng yang sangat gelap itu hanya berukuran seperempat dari ruangan kelasku disekolah. Aku hanya keluar saat aku tak tahan lagi menahan membuang air kecil. Di samping gudang terdapat WC kecil yang sudah 4tahun ini tak pernah diurus, aku pun harus membiasaan membuang air kecil disana. Itu pun dengan menyelinap. Aku pun harus bisa menahan membuang air kecil selama 2hari. Saat aku keluar untuk memebuang air kecil, cahaya matahari sangat terasa asing bagiku. Cahaya itu bisa-bisa membunuh secara sekejap. Sangat terang. Sangat berbeda dengan tempat tinggalku yang sekarang, gudang kotor yang sagat gelap. Untuk brediri pun aku harus menunduk karena dekat sekali dengan atap. Bahkan tikus, laba-laba dan binatang lainnya sudh menjadi sahabatku yang sangat setia. Menemaniku saat aku merasa kesepian, dan mendengarkan cerita-ceritaku.   
Tulang-tulang dalam tubuhku terasa sangat pegal, aku ingin berdiri. Sudah selama 4hari ini aku hanya duduk dan tidur. Aku pun memutuskan untuk berdiri sebentar saja untuk memulihkan kembali tulang-tulangku yang terasa pegal. Saat aku berdiri aku lupa, bahkan benar-benar lupa. Jarak lantai dan atap lumayan dekat. Bodohnya aku, dengan gerakan cepat dan sekaligus aku berdiri. Kepalaku membentur atap dengan sangat keras sekali, badanku terasa lemas lebih dari biasanya. Saat  itu pula aku jatuh lemas, badanku menyatu kembali dilantai yang kotor itu.
Sangat sulit bagiku untuk membuka mata, entah mengapa. Tetapi aku masih bisa merasakan bagaimana dinginnya malam itu, bunyi gerimis yang sangat jelas di telingaku, tetasan air yang membasahi tanganku, aku masih bisa maerasakan itu semua. Tetapi mengapa mataku tak dapat terbuka? Mengapa? Mataku seperti terjahit rapat, sedikitpun tak dapat terbuka. Untuk bergerak pun sangat sulit. Lalu, aku pun membiarkan kejadian yang sangat aneh yang sedang terjadi padaku ini berlangsung. Mungkin karena efek kepalaku yang terbentur atap tadi.
Esoknya, aku mendengar jelas ada suara ibu, ayah, Gafar, Shefira, dan kak Gio. Mengapa ada suara mereka? apakah aku sedang bermimpi?. Tetapi sepertinya tidak, akupun masih sulit bergerak dan membuka mata. Tetapi aku dapat mendengar suara mereka dengan jelas seperti biasanya. Apa mungkin semalam tadi ayah dan ibu menemukanku di gudang ini dan mereka menghabisi nyawaku?, setelah mendengar kabar dari guru yang datang ke rumahku semalam.Apa aku ini sudah meninggal? Ini terlalu cepat bagiku. Tetapi yang aku rasakan masih seperti sebelumnya.
Aku mendengar sayup-sayup suara Gafar menangis, ini pasti karena ulah ayah dan ibu lagi yang memarahinya sampai menangis seperti itu. Ingin rasanya aku berdiri dan memeluk Gafar agar ia berhenti menangis. Tetapi sangat sulit, sulit sekali. Apa yang terjadi sebenarnya? Suara tangis Gafar sangat berada jelas di samping telingaku seakan ia meminta pertolonganku untuk memeluk erat tubuh mungilnya. Lagi lagi aku hanya bisa menangis. Aku merasa ada tangan hangat yang mengelap air mataku, terasa sangat hangat. Aku pernah merasakan ini sebelumnya, 3tahun lalu. Aku tahu ini tangan ibu. Ibu mengelap air mata yang menetes dari mataku, betapa bahagianya aku saat itu. Ingin rasanya aku memeluk ibu saat itu, tetapi aku takut. Aku takut ibu melepasnya pelukanku dengan kasar, menamparku, lalu mencaciku. Tetapi rasa inginku benar-benar memaksaku untuk melakukan itu semua, tetapi lagi lagi sangat sulit sekali.
Aku mendengar Shefira, dan Kak Gio menangis. Ada apa ini? mengapa mereka menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi terhadap keluargaku?  Mengapa aku tak mendegar suara ayah? Ada sesuatu yang terjadi terhadap ayah? Atau ada apa? Ada apa dengan ini semua? Ingin rasanya aku berteriak sekeras mungkin agar mereka mendengar pertanyan-pertanyaanku ini, tetapi mereka tak mendegar. Mereka tak mendegar sama sekali.
Aku merasa sangat putus asa setelah melakukan teriakan, gerakan, dan membuka mata secara paksa, aku tak mendapat hasil apa-apa. Aku pun terdiam, untuk mendengar dan mersakan hal apa sesungguhnya yang terjadi. Aku merasakan suasana saat ini sangat berbeda dari pada sebelumnya, aku tak mendengar suara-suara tikus, bau pesing yang selalu terhirup setiap detiknya. Kemana semua itu? Sekarang yang aku rasa ialah harum pewangi ruangan, sangat harum sekali. Udara yang begitu sejuk.
Tiba-tiba aku mendengar bunyi musik yang selalu aku dengarkan setiap hari, saat aku merasa sangat sedih. Yanni- In The Morning Light. Siapakah yang menyetel musik ini?. Akhirnya aku pun merasa sangat tenang, musik itu berulang kali berputar. Aku pun terlelap.
Rasanya sudah sangat lama aku terlelap, musik yang aku dengar sebelum aku terlelap sudah tak terdengar lagi. Lagi lagi mengingatkanku akan semua yang sedang terjadi saat ini. Keadaan disekitarku terasa sangat sepi, tak ada satupun yang berbicara. Ingin sekali aku berteriak, berlari dan mencari kemana gerangan ayah, ibu, Shefira, Gafar, dan kak Gio. Mengapa kebahagiaan yang aku rasakan saat sebelum aku terlelap begitu cepat menghilang? Mengapa aku tak dapat tetap merasakan itu semua saat ini?
Aku pun berteriak sekeras mungkin, hingga urat dalam leherku mungkin saja terlepas. Sampai keringat Dalam tubuhku menetes deras. Tetapi tak ada yang mendengarku, tak ada jawaban. Atau mungkin aku belum berteriak? Tetapi aku rasa aku sudah melakukannya. Sampai keringat di badanku menetes deras seperti ini.
Aku pun terdiam, meredam rasa lelah dan kesal yang aku rasa. Aku mendengar sayup-sayup suara tangis ibu. Aku pun terus mencari asal suara tangisan ibu, dari mana? Mengapa sangat jauh? Mengapa ibu memanggil-manggil namaku disela tangisannya? Ada apa sebenarnya? Mengapa ibu menangis?.
Aku muak! Mengapa aku tak dapat bergerak? Aku ingin mencari dimana ibu, aku ingin memeluk ibu, aku ingin mengusap air matanya. Lagi lagi aku pun menangis untuk kesekian kalinya. Selang beberapa menit, aku pun mendengar suara ayah. Ayah pun merintih, ia merintih memohon pada seseorang. ‘Tolong…..’. mengapa ayah berkata seperti itu? Aku pun mencoba untuk mendengar kembali perkataan ayah.
Lalu aku mendengar suara seorang lelaki paruh baya yang berkata “Iya, kami sedang berusaha pak”
Lelaki itu berusaha untuk apa? Mengapa ayah mengemis meminta tolong? Ya Tuhan… cukup aku merasakan seperti ini. banyak seklai pertanyaan dalam benakku yang tak terjawab. Ada apa sebenarnya denganku? Rasanya aku sangat lelah sekali, aku sangat lelah untuk terus bertanya tanpa ada sedikit pun jawaban, aku lelah untuk terus mencoba bergerak tetapi nyatanya sulit, aku lelah mendengar tangisan keluargaku, aku lelah mendengar rintihan ayah yang terus menerus meminta tolong.
Sampai pada akhirnya, aku memutuskan untuk meredam semua ke-lelahanku dengan menangis. Sampai akhirnya aku tenang dan terlelap.
Esoknya, aku mencoba menggerakan jemariku. Ternyata membuahkan hasil, aku dapat menggerakan jariku. Setelah itu aku mencoba untuk membuka mata, dengan perlahan aku pun mencoba membuka mata. Dan akhirnya, aku dapat melihat lampu yang menyala terang tepat di atas mataku. Tetapi rasanya sangat silau, mataku tak dapat   terbuka dengan lebar. Aku pun memalingkan wajahku, aku menoleh ke arah kiri, lalu aku pun membuka mata. Dan untungnya tidak terlalu silau seperti sebelumnya. Samar-samar aku melihat seorang perempuan dan 2orang anak kecil sedang tertidur di atas sofa. Rasa penasaran membakar pikiranku, siapa perempuan dan 2orang anak kecil yang berada di sofa itu? Aku pun mencoba untuk melihat dengan jelas siapakan ketiga orang itu? Ternyata…… itu ibu, Gafar, dan Shefira.
Aku pun mencoba untuk berteriak memanggil ibu, “Bu…Ibu…”. Tetapi ibu tak mendegarku, mungkin karena suaraku yang merintih. Aku tak kuat untuk berteriak, tenagaku belum terkumpul dengan penuh untuk berteriak.
Sepertinya adikku Shefira mendengarku memanggil ibu, ia pun melihat ke arahku dan berlari kecil ke arahku. “Kakak udah bangun ya ka. Aku kangen kakak, kakak tidur terus”. Tanpa sadar aku pun menangis, perkataan Shefira membuatku merasa sangat terharu. Belum sempat ak menjawab pertanyaannya, ia sudah berlari ke arah ibu dan membangunkan ibu yang sedang terlelap di sofa itu. Ibu langsung melihatku yang sedang terbaring lemah dan berlari kecil lalu memeluku dengan sangat erat. Air mata ibu jatuh tepat di pundakku, dan aku dapat merasakannya. Segera aku pun menanyakan apa yang terjadi pada ibu, “Bu, ada apa ini? ibu kenapa menangis?”. Ibu hanya menundukan kepala dan tak menjawab perrtanyaanku, ia terus menerus menangis. Segera aku mengusap air mata ibu, aku tak peduli akan cacian ibu yang sering ibu layangkan padaku sebelumnya yang mungkin akan terjadi lagi saat itu. Tetapi nyatanya, saat aku mengusap air mata ibu, ia tak marah dan mencaciku, ia hanya memandangku dengan penuh rasa bersalah.
Tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka, ayah dan kak Gio. Mereka melihatku sedang mengusap air mata ibu, mereka pun langsung menghampiri aku dan ibu. Ayah pun langsung memelukku dengan sangat erat, begitu pula kak Gio. Perlakuan mereka saat itu membuat tangisanku menjadi-jadi.
Tanpa aku sadari, ternyata aku sedang berada di rumah sakit. Tangan ku yang di penuhi bekas jarum, dan juga selang infuse yang sedang menempel di kulitku. Selang beberapa menit, setelah aku membiarkan ayah, ibu, Shefira, Gafar, dan kak Gio merasa tenang, aku pun menanyakan apa sebenarnya yang terjadi. Dengan tegar, ayah pun menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Lagi lagi aku pun menangis setelah mendengar ayah menceritakan apa yang sebarnya terjadi, segera aku pun memeluk ayah yang saat itu sedang duduk di sampingku sambil menundukan kepalanya.
Ibu dan Ayah pun terus menerus meminta maaf kepadaku, memeluku dan menciumku. Sampai-sampai aku benar-benar mendengar kata-kata yang sangat indah yag terakhir aku dengarkan saat aku masih kecil.

“Ayah dan Ibu berjanji untuk selalu menjagamu dan menyayangimu Shan, maafkan untuk semuanya……”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar