Kamis, 21 Juni 2012

Shan




Aku lebih senang mengurung diri dikamar. Apalagi saat diriku merasakan sakit yang luar biasa. Sakit karena penyakitku, atau pun karena masalah lain yang sangat membuat hatiku merasa sangat sakit. Tak semua masalah aku bisa selesaikan dengan otakku, aku punya keterbatasan yang sangat membuatku lebih sering manangis dan mengurung diriku dikamar. Ya, hampir semua masalah aku selesaikan dengan menangis. Menurutku menangis adalah suatu hal yang sangat membuatku merasa sangat tenang. Walaupun nyatanya menangis hanya menambah masalah dalam hidupku. Terkadang aku sering dianggap autis oleh tetangga, teman sekolah, bahkan saudaraku sendiri. Mereka berpikir aku adalah seorang anak yang memiliki keterbelakangan mental yang hanya bisa menangis sepanjang harinya, menghabiskan waktu dikamar sambil menatap keluar jendela yang berada di pojok kamar sambil mendengarkan musik yang selalu diputar berulang kali. Ini adalah caraku untuk tenang, untuk bisa mengedalikan pikiranku yang terkadang membuatku ingin menyudahi hidupku yang sangat kelam ini.
Namaku Shan, aku adalah seorang remaja perempuan yang kini duduk di bangku kelas 2SMA. Aku berasal dari keluarga yang sangat memiliki emosi yang tinggi, yang lebih mengedepankan kekerasan dalam mencari jalan keluar dalam suatu masalah. Aku pun bukan berasal dari keluarga yang kaya raya, aku berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahku adalah seorang wiraswata, dan ibuku seorang guru SD. Aku memiliki 2 orang adik, perempuan dan laki-laki, dan seorang kakak laki-laki yang kini sudah duduk di bangku universitas.
Suatu hari, lagi dan lagi aku mendapati ayah dan ibuku sedang cek-cok. Lagi lagi mereka bertengkar, entah karena masalah apa. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, yang rasanya tidak udara segar yang aku hirup. Yang aku rasa hanya udara panas yang sangat membuat hidungku terasa sangat panas. Mungkin karena emosi mereka yang tak terkendali sehingga udara di sekelilingku terasa sangat panas. Pada saat itu juga aku mendapati adik lelakiku terluka, bagian tangannya terus mengeluarkan darah kental yang terus mengucur sampai-sampai menutupi baju seragam putih SDnya. Aku pun berlari kecil, memeluk erat tubuh adikku dan menanyakan apa yang terjadi, masalah apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Dengan nada terengah-engah aku pun menanyakan hal ini pada adikku.
“Ada apa sebenarnya Far?”
 Adikku itu tidak menjawab sedikit pun. Mengucapkan sepatah atau duapatah pun tidak. Untuk mengangkat kepalanya pun rasanya enggan. Isak tangisya yang terus menerus semakin mengeras itu benar-benar membuat hatiku terpukul. Aku sangat sedih kala mendapati adik yang aku cintai menangis, apalagi sampai terluka. Aku berlari ke arah ayah dan ibu. Aku kesal, sangat kesal.
“Apa yang ibu dan ayah lakukan? Kalian memukul Gafar? Gafar terluka!”
Tanpa sadar aku telah lancang, aku berteriak ke arah mereka. Aku bingung, aku sangat benci melihat adikku seperti ini. Walaupun aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tanpa aku sangka, tangan ayah yang besar itu melayang kearah pipiku. Seketika ruang tamu dirumahku terasa sangat hening. Ayah dan Ibu terdiam sekejap sambil melihat kearah ku dengan wajah datar. Aku pun segera berlari ke kamar, sambil memegangi pipiku yang saat ini terasa kram. Aku pun menangis lagi, entah untuk keberapa kali semasa aku hidup ini. Ayah dan Ibu memang sering memukul siapa pun dirumahku yang nakal, yang tak menurut apa kata mereka. Kecuali kakak lelakiku. Ayah dan ibu sangat menyayangi kakakku itu, karena kakakku adalah seorang anak yang pintar. Ia mendapat beasiswa di universitasnnya yang sekarang. Mungkin menurut mereka mendidik anak-anaknya dengan cara yang keras dapat membuat anak-anaknya itu menjadi seorang anak yang penurut. Tetapi, apa mereka tak memiliki cara lain? Mengapa mereka harus mengedepankan kekerasan dalam menididik anak-anaknya?
Tak hanya sekali duakali ayah memukul pipiku, tetapi sangat sering. Setelah ayah menampar pipiku, tanpa meminta maaf atau melirikku sedikit pun, ayah hanya duduk diam sambil meredakan emosi pada jiwanya yang sudah terkendali oleh setan-setan kejam. Hal ini aku rasakan sejak duduk di kelas 6SD, mereka sering memarahiku dengan kata-kata kasar sepeti ‘tolol’, ‘bodoh ‘ dan ‘anak tak berguna’, dan juga dibarengi dengan pukulan-pukulan keras yang melayang ke tubuhku yang banyak meninggalkan bekas biru, bekas pukulan dari tangan mereka.
Aku pun menangis, lagi dan lagi. Dinding kamar, kasur, meja belajar, lampu gantung dan benda lainnya yang ada di kamarku menjadi saksi bisu, mereka mengetahui dengan sangat jelas bagaimana seringnya aku menangis. Benda-benda di kamarku adalah sahabatku yang paling setia, mereka selalu mendengarkan ceritaku saat aku merasa sangat lelah, saat aku merasa sangat sedih. Entah pada siapa lagi aku harus bercerita, entah pada siapa lagi aku harus menangis, mengadu akan semua masalah dihidupku yang telah berlangsung dengan kelam ini. Mereka selalu ada disampingku untuk mendengar cerita-cerita tragis dalam hidupku, tak seperti teman-temanku yang lain. Mereka datang dan pergi begitu saja. Mereka menjauhiku saat tahu bahwa badanku banyak dilukisi tanda biru lebam bekas pukulan ayah ibuku. Mereka takut aku akan menyakiti mereka untuk dijadikan pelampiasan. Tak banyak yang aku perbuat, aku hanya bisa terdiam dan merenungi semua yang telah terjadi. Ini adalah nasib seorang remaja perempuan yang didik sangat keras oleh orangtuanya.
Walaupun ayah dan ibuku mendidikku dengan keras, tetapi rasa sayangku pada mereka tak pernah pudar. Walaupun ayah sering memukulku, walaupun ibu sering menghujat dan mencaciku dengan kata-kata yang kasar. Aku sangat sayang pada mereka, rasa sayangku kepada mereka bahkan melebihi rasa sayangku pada diriku sendiri. Entahlah, aku tak tau mereka menyanyangiku seperti ini atau tidak. Walau bagaimana pun, mereka adalah orangtuaku yang telah membesarkan dan mebimbingku walaupun dengan cara yang keras. Dan aku pun tidak tahu ikhlas atau tidakkah mereka membesarkanku.
Tetapi , pada suatu hari, aku muak dengan semua ini. Aku muak dengan hidupku yang selalu tersiksa, aku yang selalu dijauhi oleh siapapun yang ada di dekatku, aku yang selalu salah dalam segala situasi yang sangat menyiksa batinku, luka yang terus bertambah setiap harinya di badanku, keluarga yang selalu mendidikku dengan keras, orangtua yang selalu mencaciku seperti mencaci seorang anak tikus, dan aku muak dengan hujatan keras yang menuding diriku adalah seorang anak pungut. Aku lelah. Aku pun berlari kecil kearah gudang yang berada diatas loteng rumahku, dan aku membiarkan tubuhku berada di tengah gudang yang sangat gelap itu, di tambah dengan kegelapan malam yang saat itu tak dihiasi dengan bintang sedikitpun. Aku melawan sejuta rasa takutku, Aku ingin mengakhiri hidupku secara perlahan, agar aku masih bisa mengetahui keadaan mereka, keluargaku yang sangat aku cintai.  
Aku ingin mengeram diri  didalam gudang selama apapun, sepanjang hidupku yang kini tersisa. Penyakit jahat yang menggeliat di paru-paruku yang kini sudah bocor, kini aku hanya bergantung pada alat yang dapat menyelamatkan hidupku. Yang membantu paru-paru agar terus bekerja, agar aku dapat terus bernafas. Hidupku yang sangat bergantungan dengan obat, hidupku yang sangat lemah, hidupku yang tak pernah bisa mengikuti olahraga, atau pun berjalan dengan jarak dekat sekalipun. Tetapi aku harus menahannya, aku harus bisa melakukkan itu semua, aku tak ingin terlihat seperti seorang anak yang sakit.
Sudah dua hari ini aku mengeram diri di gudang gelap yang di penuhi tikus dan laba-laba, yang terlihat sangat kotor. Mungkin ini adalah tempat paling kotor yang pernah ada. Aku ingin mengetahui bagaimana reaksi keluargaku, teman-temanku, dan guru-guruku saat aku hilang. Aku dapat mendengar percakapan apapun yang terjadi dibawah dari gudang yang terletak di loteng ini. Tetapi nyatanya, tak ada satu pun keluargaku yang mencariku. Kecuali adik lelakkiku Gafar. Ia menanyakan keberadaanku pada Shefira, adik perempuanku. Tetapi tak ada jawaban. Aku dapat mendengar jelas adikku Gafar menanyakan keberadaanku pada Shefira. Aku pun menangis lagi, mataku sering telihat sembab. Karena terlalu sering aku menangis.
Aku tak mengerti apa yang ada di pikiran mereka. Mereka tak mencariku, mereka tak mengetahui akan hilangnya salah satu anggota keluarga mereka. Kecuali Gafar. Ibu pernah mencaciku saat kenaikan kelas sewaktu aku SMP saat hasil nilai sudah dibagikan, ia mencaciku dengan kata kasar. Di depan guru dan teman-teman sekelasku “dasar anak bodoh! Tak ada gunannya keberadaan kamu! Dasar anak tolol!”
Seketika air mataku bercucuran seiring langkah kaki ibuku yang pergi meninggalkanku di kelas. Aku pun tertunduk, tak ada lagi yang bisa aku katakan. Hanya satu-satunya sahabatku saat itu yang merangkulku dan menghapus air mataku. Aku pun memeluknya dengan sangat erat. Ibu sangat membenciku, ia menganggap aku adalah seorang anak yang bodoh, yang tidak cerdas dan pintar seperti kakak lelakiku, dan adik-adikku.  Padahal aku menderita penyakit Obsessive Compulsive Disorder atau OCD. Penyakit ini menyerang bagian mental atau jiwa yang ditandai dengan pemikiran yang selalu berulang-ulang . Dan mengingat terus menerus peristiwa yang sudah berlalu dan melupakan peristiwa yang baru saja terjadi. Ini adalah faktor utama yang membuatku sering mendapatkan nilai jelek disekolah. Dan ayah ibuku tak mengetahui akan hal ini.
Pikiranku menerawang jauh saat itu, aku membuka kembali memori-memori yang mulanya terkunci rapi di otakku. Aku mengingat bagaimana bahagianya aku saat aku masih kecil, mereka selalu mencium pipiku dengan lembut, memangku tubuhku yang mungil setiap kali mereka pulang bekerja, memelukku dengan sangat erat, menyuapiku nasi goreng yang sangat aku sukai, membacakanku dongeng setiap malam saat aku hendak tidur, dan mengucapkan ‘Selamat tidur Shan’. Sekarang tindakan itu sangat asing bagiku, aku tidak pernah merasakan itu lagi. Air mataku terasa semakin deras setelah mengingat kembali kejadian-kejadian indah yang pernah terjadi saat dulu. Aku pun larut dalam keadaan malam yang sunyi itu, aku tak lagi mendengar suara ayah, ibu adik, dan kakakku. Mungkin mereka sudah terlelap tidur.
Esoknya. Aku bangun, sengaja aku bangun padahal aku merasa sangat lemas. Sudah hampir 3hari aku tak memakan makanan yang bernutrisi. Aku hanya memakan sebungkus chiki yang aku sisakan saat istirahat di sekolah 3 hari lalu. Aku hanya memakan sedikit demi sedikit chiki itu agar dapat terus tersisa sampai selamanya aku akan mengeram diri di gudang ini. Chiki yang isinya tak seberapa. Pagi ini keluarga yang sangat aku cintai nampaknya sangat tentram. Aku tak lagi mendengar cek-cok antara ayah dan ibu, dan tangisan dari adik-adikku. Ini yang membuatku kembali menangis, keluarga ini rasanya sangat tentram tanpa kehadiranku disitu. Tanpa hadirnya diriku yang setiap pagi selalu memecahkan gelas yang berisi teh hangat yang sengaja aku buatkan untuk ayah. Gelas itu selalu pecah karena aku merasa sangat lemas setiap pagi, dan nafasku tersendat-sendat.
Tetapi , aku merasa senang sekali walaupun tanpa kehadiranku di tengah mereka, mereka rasanya lebih tentram dan damai.
Malamnya tubuhku terasa lemah, bahkan lebih lemah dari biasanya. Aku merasa sangat sulit untuk bernafas, untuk menghirup udara yang sangat aku butuhkan walaupun hanya sedikit saja. Aku pun kembali menangis, tetapi nyatanya tangisanku tak lagi membuatku tenang. Aku kehilangan cara, tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Sampai akhirnya, terdengar bunyi ketukan pintu di bawah. Aku pun mencoba untuk tenang. Aku pun mendengar percakapan yang terjadi di bawah. Ternyata itu dari guruku disekolah, aku merasa sangat senang sekali. Ternyata masih ada yang menyadari akan hilangnya aku. Aku pun mencoba mendengar kembali percakapan antara ibu, ayah dan guruku.
Maaf pak bu, saya datang malam-malam. Saya hanya ingin menyampaikan perintah dari kepala sekolah sekolahan Shan. Kepala sekolah SMA Citrapadu memutuskan untuk mengeluarkan Shan dari sekolah. Karena Shan sudah 3hari tidak kesekolah dan tidak memberi keterangan akan ketidak hadirannya selama 3hari ini. Maaf apabila keputusan ini kami layangkan kepada Shan. Karena SMA Citrapadu sangat mengedepankan ke disiplinan murid dalam absensi. Dan juga, Shan termasuk anak yang memiliki nilai yang sangat kecil. Mungkin bapak dan ibu bisa menyekolahkan Shan di sekolah lain, saya khawatir Shan akan tidak naik kelas. Dan dia sangat sulit untuk beradaptasi dengan temannya yang lain. Maaf sekali lagi sudah menganggu bapak dan ibu malam hari seperti ini.
Aku hanya terdiam terpaku, mulutku yang menganga lebar menandakan bahwa aku tak mempercayai hal ini. Lagi-lagi aku pun menangis, sambil memeluk kedua kakiku yang terasa sangat dingin. Suasana disana sangat hening seiring berlalunya guruku yang datang untuk memberikan kabar buruk, bahkan sangat buruk.
Aku mendengar percakapan ibu dan ayah yang terdengar sangat marah, dan mereka baru menyadari akan kehilanganku selama 3hari ini. Isak tangisku semakin mengeras, tetapi sepertinya ayah dan ibuku tak pernah menghiraukan bahkan mungkin sengaja tak mendengar. Tak ada sedikitpun niat mereka untuk mecari dimana keberadaanku. Aku pun merebahakan tubuhku pada kardus yang sudah aku susun rapi di gudang usang itu, nafasku semakin tersendat, dan badanku terasa sangat benar-benar lemas. Aku pun pasrah jika esok ayah dan ibu memergokiku sedang tertidur gudang dan memukuliku denga sapu lidi, atau mungkin mereka akan menghabiskan nyawaku.
Aku pun membiarkan tubuhku yang sudah sangat terasa lemah dengan nafas yang tersendat-sendat di gudang gelap dan kotor itu. Dengan harapan, ada keajaiban yang datang pada orangtuaku dan merubah mereka menjadi orangtua yang tidak memperlakukan anak-anaknya dengan perlakuan yang  kasar lagi, dan dapat menyanyangi anak-anak yang telah mereka besarkan sampai detik ini.
Esoknya perutku terasa sangat lapar, segera akupun mencari chiki sisa bekas kemarin. Ternyata, hanya tersisa 3biji. Mau tak mau aku harus melahap habis persediaan makanan yang aku sisakan untuk sisa hidupku. Tetapi akhirnya aku pun merubah keputusanku untuk melahap habis sisi chikiku, aku menyisakan 2biji. Aku hanya memakan satu. Rasa haus mulai menerpaku, tenggorokanku yang kering membuat tenggorkanku terasa sangat sakit. Aku hanya bisa menelan ludah untuk mengatasai rasa hausku.
Badanku yang sudah 4hari tak aku mandikan, bajuku yang mungkin sudah bau tercampur air kencing tikus, rambutku yang sangat kotor yang menyatu dengan debu dan kotoran tikus. Gudang yang berada di atas loteng yang sangat gelap itu hanya berukuran seperempat dari ruangan kelasku disekolah. Aku hanya keluar saat aku tak tahan lagi menahan membuang air kecil. Di samping gudang terdapat WC kecil yang sudah 4tahun ini tak pernah diurus, aku pun harus membiasaan membuang air kecil disana. Itu pun dengan menyelinap. Aku pun harus bisa menahan membuang air kecil selama 2hari. Saat aku keluar untuk memebuang air kecil, cahaya matahari sangat terasa asing bagiku. Cahaya itu bisa-bisa membunuh secara sekejap. Sangat terang. Sangat berbeda dengan tempat tinggalku yang sekarang, gudang kotor yang sagat gelap. Untuk brediri pun aku harus menunduk karena dekat sekali dengan atap. Bahkan tikus, laba-laba dan binatang lainnya sudh menjadi sahabatku yang sangat setia. Menemaniku saat aku merasa kesepian, dan mendengarkan cerita-ceritaku.   
Tulang-tulang dalam tubuhku terasa sangat pegal, aku ingin berdiri. Sudah selama 4hari ini aku hanya duduk dan tidur. Aku pun memutuskan untuk berdiri sebentar saja untuk memulihkan kembali tulang-tulangku yang terasa pegal. Saat aku berdiri aku lupa, bahkan benar-benar lupa. Jarak lantai dan atap lumayan dekat. Bodohnya aku, dengan gerakan cepat dan sekaligus aku berdiri. Kepalaku membentur atap dengan sangat keras sekali, badanku terasa lemas lebih dari biasanya. Saat  itu pula aku jatuh lemas, badanku menyatu kembali dilantai yang kotor itu.
Sangat sulit bagiku untuk membuka mata, entah mengapa. Tetapi aku masih bisa merasakan bagaimana dinginnya malam itu, bunyi gerimis yang sangat jelas di telingaku, tetasan air yang membasahi tanganku, aku masih bisa maerasakan itu semua. Tetapi mengapa mataku tak dapat terbuka? Mengapa? Mataku seperti terjahit rapat, sedikitpun tak dapat terbuka. Untuk bergerak pun sangat sulit. Lalu, aku pun membiarkan kejadian yang sangat aneh yang sedang terjadi padaku ini berlangsung. Mungkin karena efek kepalaku yang terbentur atap tadi.
Esoknya, aku mendengar jelas ada suara ibu, ayah, Gafar, Shefira, dan kak Gio. Mengapa ada suara mereka? apakah aku sedang bermimpi?. Tetapi sepertinya tidak, akupun masih sulit bergerak dan membuka mata. Tetapi aku dapat mendengar suara mereka dengan jelas seperti biasanya. Apa mungkin semalam tadi ayah dan ibu menemukanku di gudang ini dan mereka menghabisi nyawaku?, setelah mendengar kabar dari guru yang datang ke rumahku semalam.Apa aku ini sudah meninggal? Ini terlalu cepat bagiku. Tetapi yang aku rasakan masih seperti sebelumnya.
Aku mendengar sayup-sayup suara Gafar menangis, ini pasti karena ulah ayah dan ibu lagi yang memarahinya sampai menangis seperti itu. Ingin rasanya aku berdiri dan memeluk Gafar agar ia berhenti menangis. Tetapi sangat sulit, sulit sekali. Apa yang terjadi sebenarnya? Suara tangis Gafar sangat berada jelas di samping telingaku seakan ia meminta pertolonganku untuk memeluk erat tubuh mungilnya. Lagi lagi aku hanya bisa menangis. Aku merasa ada tangan hangat yang mengelap air mataku, terasa sangat hangat. Aku pernah merasakan ini sebelumnya, 3tahun lalu. Aku tahu ini tangan ibu. Ibu mengelap air mata yang menetes dari mataku, betapa bahagianya aku saat itu. Ingin rasanya aku memeluk ibu saat itu, tetapi aku takut. Aku takut ibu melepasnya pelukanku dengan kasar, menamparku, lalu mencaciku. Tetapi rasa inginku benar-benar memaksaku untuk melakukan itu semua, tetapi lagi lagi sangat sulit sekali.
Aku mendengar Shefira, dan Kak Gio menangis. Ada apa ini? mengapa mereka menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi terhadap keluargaku?  Mengapa aku tak mendegar suara ayah? Ada sesuatu yang terjadi terhadap ayah? Atau ada apa? Ada apa dengan ini semua? Ingin rasanya aku berteriak sekeras mungkin agar mereka mendengar pertanyan-pertanyaanku ini, tetapi mereka tak mendegar. Mereka tak mendegar sama sekali.
Aku merasa sangat putus asa setelah melakukan teriakan, gerakan, dan membuka mata secara paksa, aku tak mendapat hasil apa-apa. Aku pun terdiam, untuk mendengar dan mersakan hal apa sesungguhnya yang terjadi. Aku merasakan suasana saat ini sangat berbeda dari pada sebelumnya, aku tak mendengar suara-suara tikus, bau pesing yang selalu terhirup setiap detiknya. Kemana semua itu? Sekarang yang aku rasa ialah harum pewangi ruangan, sangat harum sekali. Udara yang begitu sejuk.
Tiba-tiba aku mendengar bunyi musik yang selalu aku dengarkan setiap hari, saat aku merasa sangat sedih. Yanni- In The Morning Light. Siapakah yang menyetel musik ini?. Akhirnya aku pun merasa sangat tenang, musik itu berulang kali berputar. Aku pun terlelap.
Rasanya sudah sangat lama aku terlelap, musik yang aku dengar sebelum aku terlelap sudah tak terdengar lagi. Lagi lagi mengingatkanku akan semua yang sedang terjadi saat ini. Keadaan disekitarku terasa sangat sepi, tak ada satupun yang berbicara. Ingin sekali aku berteriak, berlari dan mencari kemana gerangan ayah, ibu, Shefira, Gafar, dan kak Gio. Mengapa kebahagiaan yang aku rasakan saat sebelum aku terlelap begitu cepat menghilang? Mengapa aku tak dapat tetap merasakan itu semua saat ini?
Aku pun berteriak sekeras mungkin, hingga urat dalam leherku mungkin saja terlepas. Sampai keringat Dalam tubuhku menetes deras. Tetapi tak ada yang mendengarku, tak ada jawaban. Atau mungkin aku belum berteriak? Tetapi aku rasa aku sudah melakukannya. Sampai keringat di badanku menetes deras seperti ini.
Aku pun terdiam, meredam rasa lelah dan kesal yang aku rasa. Aku mendengar sayup-sayup suara tangis ibu. Aku pun terus mencari asal suara tangisan ibu, dari mana? Mengapa sangat jauh? Mengapa ibu memanggil-manggil namaku disela tangisannya? Ada apa sebenarnya? Mengapa ibu menangis?.
Aku muak! Mengapa aku tak dapat bergerak? Aku ingin mencari dimana ibu, aku ingin memeluk ibu, aku ingin mengusap air matanya. Lagi lagi aku pun menangis untuk kesekian kalinya. Selang beberapa menit, aku pun mendengar suara ayah. Ayah pun merintih, ia merintih memohon pada seseorang. ‘Tolong…..’. mengapa ayah berkata seperti itu? Aku pun mencoba untuk mendengar kembali perkataan ayah.
Lalu aku mendengar suara seorang lelaki paruh baya yang berkata “Iya, kami sedang berusaha pak”
Lelaki itu berusaha untuk apa? Mengapa ayah mengemis meminta tolong? Ya Tuhan… cukup aku merasakan seperti ini. banyak seklai pertanyaan dalam benakku yang tak terjawab. Ada apa sebenarnya denganku? Rasanya aku sangat lelah sekali, aku sangat lelah untuk terus bertanya tanpa ada sedikit pun jawaban, aku lelah untuk terus mencoba bergerak tetapi nyatanya sulit, aku lelah mendengar tangisan keluargaku, aku lelah mendengar rintihan ayah yang terus menerus meminta tolong.
Sampai pada akhirnya, aku memutuskan untuk meredam semua ke-lelahanku dengan menangis. Sampai akhirnya aku tenang dan terlelap.
Esoknya, aku mencoba menggerakan jemariku. Ternyata membuahkan hasil, aku dapat menggerakan jariku. Setelah itu aku mencoba untuk membuka mata, dengan perlahan aku pun mencoba membuka mata. Dan akhirnya, aku dapat melihat lampu yang menyala terang tepat di atas mataku. Tetapi rasanya sangat silau, mataku tak dapat   terbuka dengan lebar. Aku pun memalingkan wajahku, aku menoleh ke arah kiri, lalu aku pun membuka mata. Dan untungnya tidak terlalu silau seperti sebelumnya. Samar-samar aku melihat seorang perempuan dan 2orang anak kecil sedang tertidur di atas sofa. Rasa penasaran membakar pikiranku, siapa perempuan dan 2orang anak kecil yang berada di sofa itu? Aku pun mencoba untuk melihat dengan jelas siapakan ketiga orang itu? Ternyata…… itu ibu, Gafar, dan Shefira.
Aku pun mencoba untuk berteriak memanggil ibu, “Bu…Ibu…”. Tetapi ibu tak mendegarku, mungkin karena suaraku yang merintih. Aku tak kuat untuk berteriak, tenagaku belum terkumpul dengan penuh untuk berteriak.
Sepertinya adikku Shefira mendengarku memanggil ibu, ia pun melihat ke arahku dan berlari kecil ke arahku. “Kakak udah bangun ya ka. Aku kangen kakak, kakak tidur terus”. Tanpa sadar aku pun menangis, perkataan Shefira membuatku merasa sangat terharu. Belum sempat ak menjawab pertanyaannya, ia sudah berlari ke arah ibu dan membangunkan ibu yang sedang terlelap di sofa itu. Ibu langsung melihatku yang sedang terbaring lemah dan berlari kecil lalu memeluku dengan sangat erat. Air mata ibu jatuh tepat di pundakku, dan aku dapat merasakannya. Segera aku pun menanyakan apa yang terjadi pada ibu, “Bu, ada apa ini? ibu kenapa menangis?”. Ibu hanya menundukan kepala dan tak menjawab perrtanyaanku, ia terus menerus menangis. Segera aku mengusap air mata ibu, aku tak peduli akan cacian ibu yang sering ibu layangkan padaku sebelumnya yang mungkin akan terjadi lagi saat itu. Tetapi nyatanya, saat aku mengusap air mata ibu, ia tak marah dan mencaciku, ia hanya memandangku dengan penuh rasa bersalah.
Tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka, ayah dan kak Gio. Mereka melihatku sedang mengusap air mata ibu, mereka pun langsung menghampiri aku dan ibu. Ayah pun langsung memelukku dengan sangat erat, begitu pula kak Gio. Perlakuan mereka saat itu membuat tangisanku menjadi-jadi.
Tanpa aku sadari, ternyata aku sedang berada di rumah sakit. Tangan ku yang di penuhi bekas jarum, dan juga selang infuse yang sedang menempel di kulitku. Selang beberapa menit, setelah aku membiarkan ayah, ibu, Shefira, Gafar, dan kak Gio merasa tenang, aku pun menanyakan apa sebenarnya yang terjadi. Dengan tegar, ayah pun menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Lagi lagi aku pun menangis setelah mendengar ayah menceritakan apa yang sebarnya terjadi, segera aku pun memeluk ayah yang saat itu sedang duduk di sampingku sambil menundukan kepalanya.
Ibu dan Ayah pun terus menerus meminta maaf kepadaku, memeluku dan menciumku. Sampai-sampai aku benar-benar mendengar kata-kata yang sangat indah yag terakhir aku dengarkan saat aku masih kecil.

“Ayah dan Ibu berjanji untuk selalu menjagamu dan menyayangimu Shan, maafkan untuk semuanya……”




Senin, 04 Juni 2012

Menjelang Pagi.



5hari yang lalu, setelah kejadian yang sangat membuatku sangat sedih, Adra meninggalkanku. Ia lebih memilih untuk menjauhi dan meninggalkanku, karena suatu hal yang sangat membuatku tak habis pikir. Aku hanya seorang perempuan biasa yang childish, berbeda jauh dengannya. Adra adalah seorang yang sangat dewasa, umurku dengannya berbeda 2tahun. Sebelumnya, hubunganku dengannya berjalan normal, ia bisa memaklumi sikapku yang childish dan masih sangat manja. Tetapi, belakangan ini ia sangat berubah. Aku tahu, setiap hubungan pasti memiliki kendala, apapun itu. Tak selalu mulus jalan yang dilalaui, selalu ada tanjakan atau turunan yang membuat setiap pasangan harus lebih sabar dan mengerti satu sama lain.
Sebelumnya, hubunganku dengan Adra sudah berjalan 3tahun. Dulu, dia adalah kakak kelasku di Smp. Awal mula aku berkenalan denganya adalah saat Smp. Sejak Smp, sifat dewasanya sudah terlihat. 
Dengan penuh keberanian, ia memanggilku dan meminta nomor Hpku. Padahal, saat itu mungkin dia benar-benar tak mengetahui namaku. 
"Hey kamu, boleh minta nomor Hpnya gak?"
Tanpa berfikir panjang, aku langsung memberi nomor Hpku. Sejak awal masuk Smp aku pun sudah menyukainya. Ia sangat terlihat jauh berbeda dengan lelaki lain.
"Oke, terimakasih ya Riq"
Adri hanya berkata terimakasih, lalu dengan cepat meninggalkanku yang saat itu tengah mersakan euforia. Dan, ternyata Adri mengetahui namaku, tak seperti yang aku bayangkan. Ini bukan masalah apa-apa, bukan masalah ia mengetahui namaku atau bukan. Tetapi, secara tidak langsung mungkin ia telah mencari tahu siapa aku, padahal pada hari itu aku menggunakan seragam batik. Mungkin ia menanyakan kepada teman sekelasku atau kakak kelas. Tetapi, aku tak memikirkan itu. 
Euforia yang aku rasakan sangat membuatku salah tingkah, apalagi saat aku bertemu dengan Adri sewaktu pulang sekolah setelah kejadian sebelumnya. 

'Ini Riquin ya?'
Hpku pun berdering, ada sms. Pada saat itu, aku sudah mengetahui jelas kalau yang mengsms-ku saat itu pasti Adra. Aku pun membalas smsnya, dan lama- kelamaan akhirnya kami pun saling sharing.

Seiring berjalannya waktu, aku dan Adra saling mengetahui sifat masing-masing. Adra mengetahui sikapku yang ke kanak-kanakan, sikapku yang manja, keras kepala dan banyak lagi. Begitu pula dengan aku, aku mengetahui sikap Adra yang dewasa, pengertian, ramah dan sopan. Sikapku dan dia sangat jauh berbeda.
Sampai pada suatu saat, akhirnya dia menyatakan perasaannya kepadaku. Bahwa ia memiliki perasaan yang ternyata sama denganku, ia menyukaiku sejak pertama aku masuk Smp. Tetapi, ia baru berani menyatakannya saat ia duduk di kelas 1Sma. Dengan sikapku yang saat itu masih sangat polos, aku pun menyatakan apa yang aku rasakan juga kepadanya. Dan akhirnya, kami pun menjalin hubungan. Cinta monyet.

Selama aku dan dia bersama, banyak sekali kebahagiaan yang aku rasakan. Dia selalu mengalah saat egoisku menjadi, saat aku selalu ingin menang sendiri, dan banyak sekali hal yang sangat membuatku makin hari makin menyayanginya. Ia tak hanya menjadi seorang yang spesial bagiku, ia bisa menjadi seorang kakak bagiku, seorang ibu, seorang guru dan bnayak lagi. Ohya, bahkan ia bisa menjelma menjadi bodyguardku.

Aku merasa sangat nyaman berada di dekatnya, dia sangat mengerti apa yang aku inginkan. Pernah suatu saat, aku memintanya untuk menemaiku seharian penuh untuk keliling Bandung, dan menemaniku untuk mencari tempat-tempat yang menjual jajanan-jajanan pasar jaman dahulu. Tanpa berfikir panjang, ia langsung meng-iyakan ajakanku. Padahal aku tahu, saat itu dia sedang sibuk untuk menyelesaikan proyek fotografernya yang belum tuntas.

Adra pun menjemputku, ia memarkirkan motornya di teras rumahku dan mengetuk pintu. Dengan sigap aku pun membuka pintu, dan aku mempersilahkan Adra untuk duduk. Adra pun memintaku untuk memanggil ibu, untuk meminta izin. Dengan ke-sopanannya, dia meminta izin pada ibu. 
'Bu, Adra mau minta izin, mau ajak Riquin pergi. Katanya Riquin lagi ingin membeli jajanan-jajanan pasar bu. Boleh?'
Aku mendengar percakapan ibu dan Adra di balik tembok ruang tamu, ibu pun mengiyakan permintaan izin Adra.
Aku dan Adra pun akhirnya pergi keliling Bandung. Sebelum aku dan Adrapergi ia memberikanku helm dan memsangkannya, sambil tersenyum ramah. 
Tak disangka di tengah jalan tiba-tiba hujan mengguyur daerah sekitar Braga, saat itu aku dan Adri sedang berada di daerah Braga. Adra pun memarkirkan motornya di dekat CK Braga, aku dan Adra pun duduk sambil menunggu hujan reda. 
Saat aku sedang sibuk memainkan game boy kesayangnku,Saat aku menoleh ke arah tempat duduk Adra, ia tak ada. Tiba-tiba ia datang dengan membawa 2buah minuman dan 1bungkus Cha-cha besar. 
"Dor, kaget ya aku ngilang?" tanyanya sambil mengagetkanku
"Engga kok, biasa aja" 
"Ini minum dulu nih, aku beli buat kamu" sambil menyodorkan minuman yang ia beli.
Aku pun menerimanya dan segera meminum minuman itu. Aku melihat Adra membuka bungkusan Cha-cha yang ia beli, dan menyodorkannya kepadaku.
"Nih, makan. Kamu suka kan?"
Aku hanya mengangguk dan menggambil segenggam penuh C-cha yang Adra beli. 
"Jangan banyak-banyak dong, ntar habis"
"Eh, lagian pelit amat sih. Cuman beli satu" Jawabku ketus. 
"Bukan pelit Riq"
"Terus apa?" tanyaku.
"Kenapa aku beli cuman satu bungkus, Cha-cha ini mengibaratkan kisah kita Riq. Cha-cha ini berbagai macam warna dan banyak kan di dalamnya? tapi cuman di bungkus sama 1 bungkusankan?" 
"Iya, terus kenapa memangnya?" tanyaku heran.
"Ya jadi gini, buat kedepannya nanti kita bakalan bikin berbagai kisah-kisah dan cerita-cerita yang gaakan kita lupain, dan hanya dibungkus sama 1 cinta kita Riq. hahaha" jelas Adra.
"Hahaha, sok puitis banget sih 'Dra bahasanya"
"Gapapa dong, tapi seneng kan? Janji ya bakalan kayak Cha-cha?" tanya Adra.
"Iya 'Dra.. Terus apa lagi?"
"Biar kita lebih bisa berbagi. Biar kita gak egois Riq. Sama biar kita bisa saling berbagai semua sedih atau seneng bareng-bareng. Kayak warna Cha-cha, gak semuanya warnanya terang kan?" jelas Adra lagi.
Aku pun hanya mengangguk dan tersenyum pada Adra. Perkataanya tadi yang sangat membuatku sangat mengangguminya. 
Hujan pun reda, aku pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tanpa disangka, Adra pun memakaikan jaketnya padaku. Alasanya karena hari itu habis hujan, pasti dingin. Jadi ia meminjamkan jaketnya padaku yang saat itu hanya memakai kaos.
"Loh, terus kamu pake apa?" tanyaku pada Adra.
"Aku kan pake lengan panjang Riq"
Aku pun hanya mengagguk. Sambil melihat ke arah kiri-kanan jalan, aku melihat beberapa lukisan yang berjejer rapi yang di gantung di tembok-tembok. Sampai-sampai aku tak menyadari bahwa Adra sedari tadi memperhatikanku dari spion motornya.
"Heh, ngeliatin lukisan aja. Pengen ya?" tanyanya.
Aku menggelengkan kepala, dan kembali memfokuskan pandanganku ke arah lukisan-lukian indah yang berda di kiri-kanan jalan. 

Setelah seharian penuh aku dan Adra berjalan-jalan mengelilingi Bandung, aku pun memutuskan untuk pulang. Raut wajah Adra sangat berbeda dari sebelumnya, wajahnya terlihat kusam karena debu dan asap kendaraan lain. 
"Thanks for today yah 'Dra. Hati-hati pulangnya." ujarku ambil mengelus pundak Adra.
Adra tersenyum sambil mencubit pipiku, dan langsung berkata "Selagi aku bisa temenin kamu bakalan aku temenin kemana pun Riq. Thanks for today juga yah. Bye"
Adra pun menacap gas motornya dan berlalu. Aku pun masuk dan segera merebahkan tubuhku di kasur. 
Setelah beberapa saat, aku pun menyadari bahwa aku belum mengembalikan jaket milik Adri. Aku pun berniat untuk mencucinya sebelum aku kembalikan, aku pun memeriksa kira-kanan saku jaket Adra barang kali ada barang yang tertinggal. Dan ternyata, ada HPnya. 
Niat isengku pun mencuat, akhirnya aku membuka inbox satu persatu. Tak ada sms dari orang lain, selain dariku dan teman proyek fotografernya. Azmil.

'Aku batalin hunting hari ini ya 'Mil, aku mau temenin Riquin pergi. Kita bisa batalin aja proyeknya'
Balasan sms Adra pada Azmil teman seproyeknya membuatku kebingungan, apalagi saat membaca sms dari Azmil yang sebelumnya yang mengajak Adra untuk hunting foto untuk menyelesaikan tahap akhir proyeknya yang sangat dibutuhkan oleh salah satu majalah ternama. Setahuku Adra sangat antusias dalam menyelesaikan proyeknya yang satu ini.

Satu hal yang membuatku terharu adalah, tenyata ia membatalkan proyeknya yang tinggal setahap lagi, padahal sudah hampir selsai 99%. Dia lebih memilih untuk memaniku pergi. 

Tak terasa hubunganku dengannya sudah berjalan 2tahun. Dan akhirnya status Smp ku berubah menjadi Sma. Dan pun sedang sibuk untuk Ujian Nasional. 

Aku tak pernah merasa bosan, bahkan hari demi hari aku merasa lebih nyaman bersamanya. Aku pun mengenalkan sahabatku Arina, pada Adra. Kami pun merasa sangat nyaman, dan akhirnya aku, Adra dan Arina menjalin persahabatan. 
Sampai akhirnya, Adra lulus. Dan berubah menjadi seorang mahasiswa. Aku ikut senang, walaupun statusnya yang kini sudah berubah menjadi mahasiswa, ia tidak pernah malu untuk menggandengku di kampusnya padahal aku menggunakan rok Sma. Dimana ada aku, selalu ada Adra, dan juga Arina. Hari demi hari aku, Adra dan Arina semakin dekat dan lalui bersama.

3tahun, Aku dan Adra telah bersama. Banyak sekali yang sudah kita lewati bersama, apalagi ditambah kehadiran Arina. Selang beberapa minggu setelah Anniversaryku yang ke-3 dengan Adra, ternyata Adra harus meneruskan proyek di Bogor. Terpaksa ia harus menetap di Bogor selama beberapa minggu kedepan. Aku tak keberatan, karena masih ada Arina yang akan menemaniku.
Setelah 3 hari Adra di Bogor, aku dan dia tak pernah lose contact. Selalu saja dia menyempatkan untuk menelpon atau mengsmsku. 

Setelah beberapa lama, aku merasakan ada yang berbeda. Aku tak lagi melihat Arina di sekolah, Arina tak pernah menelponku atau menyapaku di jejaring sosial. Saat aku coba menelponnya pun ternyata, nomornya tidak aktif. 
Setalah 3minggu Adra berada di Bogor, akhirnya ia menyempatkan ke Bandung untuk menemuiku setalah aku memaksanya berulang kali. Adra pun menjemputku di sekolah, tetapi aku merasakan ada perubahan yang sangat derastis. Aku pun mencoba untuk mencairkan suasana. 
"Adra, Arina tiba-tiba menghilang loh. Aku juga jadi jarang lihat dia di sekolah." Ujarku.
"Hmm, mungkin dia sakit kali"
"Tapi, aku udah tanya ke temen sekelasnya, katanya memang udah lama gak sekolah. tanpa keterangan 'Dra"
"Oh" jawab Adra singkat. 

Esoknya, Adra memutuskan untuk kembali ke Bogor dan menyelesaikan proyeknya. 
"Aku pergi lagi yah Riq, paling 2minggu lagi aku selesai ya"
Adra hanya mengucapkan singkat kata, aku pun mengiyakan. Dan membiarkan Adra untuk kembali ke Bogor. 
Hampir 2 bulan aku menunggu Adra untuk kembali ke Bandung. Tetapi Adra selalu saja menjawab 'nanti'. Hanya itu yang selalu ia ucapkan.  Lagi-lagi aku pun bersabar dan menunggunya untuk menepati janjinya. 
Aku pun tak lagi perduli dengan Arina yang menghilang begitu saja, berbagai cara telah aku lakukan untuk mencari Arina. Tetapi nihil.
Adra pernah mengatakan sesuatu padaku, bahwa dia akan menelponku untuk membangunkanku setiap menjelang pagi. Untuk melihat bagaimana indahnya langit saat menjelang pagi, tentramnya suasana saat menjelang pagi, dan hawa sejuk saat menjelang pagi. Kegiatan ini selalu aku dan Adra lakukan selama 3tahun ini. Tetapi, belakangan ini, Adra tak pernah menelponku lagi untuk membangunkanku setiap menjelang pagi. 

Setiap menjelang pagi, aku selalu pergi ke loteng untuk mersakan sejuk dan indahnya suasana menjelang pagi. Dulu, sebelum Adra berubah, aku dan dia selalu bersamaan menatap langit dirumah masing-masing sambil bertelpon. Tetapi, sekarang jelas sangat berbeda. Sudah hampir 2 bulan aku melakukan hal ini sendiri, sudah hampir 2 bulan Adra tak mengebariku, sudah 2bulan ini pula Adra tak pernah pulang. 

Sampai akhirnya, aku pun membulatkan tekadku untuk menyusul Adra ke Bogor. Beruntungnya aku, aku dapat menumakn Adra di sebuah taman di Bogir. Dia dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan, badanya terlihat lebih gendut, dan wajahnya terlihat lebih bersih. 
"Adraaaaa!" seruku.
Wajah Adra terlihat bingung, dia hanya tersenyum canggung.
"Loh, kamu ga kangen aku apa? Kenapa aku hubungi kamu selalu gak bisa? Kamu sibuk banget?Katanya kamu mau pulang."
Aku menghujani Adra dengan berbagai pertanyaan yang mungkin membuat Adra marah. Tetapi setahuku, Adra tak pernah marah. Dia tak menjawab pertanyaanku, dia malah berbalik badan dan berjalan meninggalkanku. 
"Adra, ko malah pergi? bentar lagi kita anniv loh 'Dra! Kita udah lama gak liat langit mnejelang pagi, aku selalu liat langit menjelang pagi sekarang sendirian terus sambil nunggu telpon dari kamu 'Dra!" ujarku.
Aku pun mencoba meraih tangan Adra. Tetapi, Adra malah melapaskan secara paksa. 

'Maaf Riq, aku sekarang berubah. Aku bukan Adra yang dulu. Maafin aku, aku kaya gini. I don't love you anymore. Aku lihat pantulan di mata kamu, orang lain yang lebih tepat buat aku, dia Arina'

Adra pun berlalu dan meninggalkanku sendirian tanpa menatapku sedikit pun, dan di arah lain, aku melihat Arina yang berjalan menghampiri Adra.

Kamis, 10 Mei 2012

Nyatanya

Seharusnya kita bisa berlindung dibalik awan cerah. Tetapi nyatanya, kita hanya bersembunyi di balik awan gelap. Seharusnya kita bisa se-tegar karang. Tetapi nyatanya, kita bukan seperti karang. Seharusnya kita bisa berjalan lurus seperti roda. Tetapi nyatanya, kita bukan roda yang bisa berjalan lurus, tapi belok. Seharusnya kita bisa seperti peri. Tetapi nyatanya, kita hanya bermimpi.
Seharusnya kita bisa saling menjaga. Tetapi nyatanya, kita hanya ingin dijaga. Seharusnya kita mandiri. Tetapi nyatanya, kita tidak pernah ingin mandiri. Seharusnya kita realistis. Tetapi nyatanya, kita tidak bisa menerima apa adanya. Seharusnya kita bisa mengerti. Tetapi nyatanya, kita hanya ingin selalu dimengerti.
Seharusnya kita bisa sadar. Tetapi nyatanya, kita hanya bisa sadar dalam keadaan tertentu. Seharusnya hukum alam itu kita segani. Tetapi nyatanya, kita lawan dengan seribu ancang-ancang. Seharusnya langit itu bersih. Tetapi nyatanya, dipenuhi dengan dosa kita. Seharusnya kita mengejar hujan. Tetapi nyatanya, kita hanya dikejar hujan.
Seharusnya kita berani, berani karena benar. Tetapi nyatanya, hanya berlindung di balik kesalahan kita.
Seharusnya dewasa itu sikap.Tetapi nyatanya, dewasa itu hanya formalitas. Seharusnya kita bisa mengusap air mata oranglain. Tetapi nyatanya, kita masih terlalu lemah untuk mengusap air mata kita sendiri. Seharusnya kita mengedepankan fakta. Tetapi nyatanya, hanya isu. Seharusnya kita melihat pelangi. Tetapi nyatnya, hanya api. Seharusnya kita bisa melihat matahari di pagi hari. Tetapi nyatanya, hanya kumpulan asap yang terbang dilangit.
Seharusnya air itu dingin. Tetapi nyatanya, air menjadi panas seperti api. Seharusnya balita itu diam. Tetapi nyatanya, mereka kini bertingkah. Seharusnya bohong itu lawan. Tetapi nyatanya, mereka kini menjadi kawan. Seharusnya adzan itu menjadi seruan. Tetapi nyatanya, kini dihiraukan. Seharusnya kata tolong menjadi seruan. Tetapi nyatanya, kini di asingkan. Seharusnya perbedaan menjadi jalan untuk bersatu. Tetapi nyatanya, jadi faktor utama menjadi hancur.

Dan seharusnya semua tidak menjadi Seharusnya

Senin, 07 Mei 2012

Bayangan hitam




"Iya aku lihat dengan mata kepalaku sendiri! Bayangan hitam!" teriaknya lantang.
"Sadar Zora! kamu mengkhayal!" tegas kak Seva.

Sejak kejadian kemarin, kali pertama Zora melewati rumah pak Tono. Setelah ia melawan rasa takutnya yang selalu mengikutinya kemana pun ia pergi. Suara tertawa seorang kakek-kakek selalu ia dengar.
Pak Tono adalah seorang kakek tua, kakek tua yang memiliki penyakit saiko. Sebelum istri dan kedua anakanya meninggal, pak Tono seorang penyair hebat dan dikenal banyak orang. Hidupnya selalu bahagia, memiliki tanah dan restoran yang cukup terkenal. Tetapi semenjak insiden 4Maret 2 tahun silang, hidup pak Tono menjadi semrawut. Pekerjaan menjadi penyair ia tinggalkan, restorannya bangkrut, bahkan tanah-tanahnya sudah habis terjual. Istri dan kedua anaknya meninggal akibat dibunuh oleh komplotan perampok yang menyusup kerumahnya saat tengah malam, kebetulan saat itu pak Tono sedang keluar kota. Hal itu yang menyebabkan pak Tono saiko. 
Dulu, pak Tono sangat dekat dengan keluarga Zora. Rumah pak Tono dan Zora lumayan dekat, hanya dibatasi dengan 3rumah disamping kiri dari rumah Zora. Pak Tono tahu betul segala sesuatu tentang Zora, karena sejak umur 4 tahun keluarga pak Tono dan Zora sudah saling kenal. Bahkan dulu, Zora sering menginap dirumah pak Tono.
2 tahun lalu, keluarga Zora sangat kaget saat mendengar kabar bahwa istri dan kedua anak pak Tono telah meninggal terbunuh. Apalagi orangtua Zora yang pada saat itu sedang berada diluar negeri, mereka pun langsung pulang ke Indonesia saat mendengar kabar itu.
Penyakit saiko yang dimiliki pak Tono membuat Zora sangat ketakutan, apalagi Zora pernah memergoki pak Tono yang sedang menyayat-nyayat badan kucing yang ia ikat di bangku kecil yang sudah lapuk. Seketika Zora berteriak dan menangis, ia menceritakannya pada kak Seva. Penyakit saiko yang dimiliki pak Tono itu membuat keluarga Zora dan tetangga lain sangat terganggu dan ketakutan.

Malam ini semenjak kejadian tadi siang saat Zora melihat bayangan hitam di dalam rumah pak Tono yang terlihat jelas dari jendela luar rumah pak Tono itu, Zora merasa sangat ketakutan. Sekujur tubuhnya merinding. Apalagi malam itu hujan disertai petir. Setiap malam Zora sering mendengar suara tertawa seorang kakek-kakek dan suara langkah kaki yang sangat keras. Hal itu membuat Zora sangat takut, mengingat semua bunyi itu muncul semenjak istri dan kedua anak pak Tono yang meninggal. Dan juga semenjak pak Tono menjadai saiko.
"Ya Tuhan... lindungi Zora....!" rintih Zora sembari menutup kedua telinganya. Suara tertawa seorang kakek-kakek itu ia dengar kembali. 
Zora hanya tinggal ber3 dirumahnya yang lumayan besar itu, kak Seva, Zora, dan Asri pembantunya. Rumah Zora menjadi lebih seram semenjak orangtua Zora kerja di luar negeri.

Tok...tok..tok

Terdengar suara ketukan pintu dari luar pintu kamar Zora. Ia pun langsung menarik selimut bergambar Barbie-nya itu menutupi sekujur tubuhnya sambil memeluk erat boneka Micky Mouse-nya. Bunyi ketukan itu terdengar berulang-ulang.
"Buka Zora!" teriak kak Seva keras.
Zora pun membuka selimutnya itu, ia takut salah dengar. Ia pun memastikan bahwa itu benar-benar suara kak Seva atau bukan.
"Siapa???!" teriaknya ketakutan.
"Ini kakak Zora! Buka cepetan!" 
Zora pun berlari kecil kearah pintu kamarnya sambil tetap memeluk bonekanya.
"Kamu ini gak denger apa pintu dari tadi di ketuk-ketuk?" ujar kak Seva sembari menyimpan susu putih yang ia bawakan untuk Zora dan menyimpannya di meja dekat kasur Zora.
"Ya maaf kak, aku pikir itu bukan kakak... abis aku takut." 
"Takut apasih? kamu tuh menghayal aja! udah cepet minum susunya, terus tidur!" ujar kak Seva sembil berjalan menuju pintu kamar Zora dan keluar.
Zora pun meminum susu yang kak Seva antar tadi, dengan cepat langsung kembali kedalam selimut bergambar Barbie yang sudah menunggunya. 

Esoknya
Dengan pakaian seragam SMA-nya yang sudah rapi, rambut panjang berkepang dua dan tas pink bergambar Barbie yang ia pakai pagi itu, Zora langsung duduk di kursi meja makannya. Ia pun mengambil selembar roti dan mengoleskan selai coklat pada rotinya itu. Lagi lagi dan lagi, pagi itu Zora hanya sarapan sendiri, hanya di temani dengan televisi yang selalu menyala. Di depannya terdapat secarik kertas yang bertuliskan:

Zora hari ini kakak pulang malam, kamu langsung pulang yah jangan main dulu. Kalau mau makan tinggal ambil di kulkas, hari ini Asri sedang pulang kampung. Ibunya sakit.

"Aahhhh!Damn!" gerutu Zora kesal. "kenapa harus pake ada acara pulang kampung segala sih si Asri!"

Jam sudah menunjukan pukul 06.15, Zora pun segera pergi sekolah. Ia mengunci pintu rumahnya dan berdiri di depan gerbang sambil menunggu taksi langganannya yang selalu menunggu di pertigaan jalan dekat rumahnya.

Sesampainya di sekolah, Zora langsung berlari kecil mencari teman se-gank-nya untuk mengajak ke Mall pulang sekolah nanti.
"Asti, pokonya pulang sekolah kita harus main!" ujar Zora dengan nada memaksa. "kasih tau yang lain pokoknya!"
Asti hanya mengangguk. Raut wajah Asti yang benar-benar heran pada sikap Zora hari ini.
Bel istirahat berbunyi. Zora langsung mengambil hp-nya dari saku bajunya, ia menanyakan pada kak Seva benarkah kak Seva akan pulang malam atau tidak.
                 Kak sekarang beneran pulang malem? Jam berapa?

Zora berharap bahwa kak Seva hanya bercanda akan hal itu, meningat kak Seva sering sekali bercanda. Hp Zora pun bergetar, menandakan ada balasan sms.
     Bener Zora, emang kenapa? kira-kira jam 10-an kaka baru keluar kantor. Udah yah jangan sms lagi, lagi rapat.

 Balasan sms kak Seva membuat Zora sangat jengkel. Pikiran-pikiran aneh sudah mengerubuti otak Zora. "Stop!!!!"
Kesibukan kak Seva sangat-sangat membuat Zora sering di tinggal pulang malam. Ia bekerja di salah satu kantor pemasaran prodak makanan yang sangat terkenal. Hal itu yang membuat kak Seva sangat sibuk.

Zora menuggu gank-nya di depan gerbang. Beberapa saat kemudian, Asti datang sambil berlari kecil. "Zor, Shan sama Hasqa gabisa ikut" ujarnya sambil terengah-engah. 
"Terus gimana dong?gue takut dirumah sendiri! Kak Seva pulang malem" ujarnya emosi.
"Yaudah gue temenin, gampang kan? gausah emosi dulu deh" 
Akhirnya mereka pun menaiki taksi langganan Zora menuju salah satu Mall yang berada lumayan dekat dari sekolah Zora.
Kebiasan Zora, ia selalu menghabisan uang mingguannya untuk berbelanja sesuatu yang tidak terlalu penting. Begitu pula dengan temannya Asti. 
Tepat pukul 18:00, Asti dan Zora keluar dari Mall itu. Supir taksi yang tetap setia menunggu Zora di depan Mall sambil menghisap rokoknya.
"Ayo pak. Pulang" ujar Zora.

Zora pulang menyusuri jalan yang ramai lancar. CD album penyanyi terkenal 'Katy Perry' yang selalu ia bawa kemana-mana membuat taksi itu seperti disko berjalan. Volumenya sangat keras.
Arrived home
Zora mngeluarkan uang 200ribu dari dompet pinknya dan memberikan pada tukang taksi itu. "Besok seperti biasa yah pak" ujar Zora.

Zora membuka pintu dan segera berjalan masuk ke dalam, Asti mengikuti dari belakang. Mereka beristirahat sebentar setelah seharian berbelanja.
Zora berjalan menuju kulkas untuk mengambil Jus Apel lalu menuangkannya di 2 gelas. Ia memberikan satu lagi pada Asti.
"Nih As. lo gaakan dimarahin udah malem gini?" tanya Zora
"Engga, gue udah bilang mau nemenin lo" 
"Yaudah lo sekalian  nginep sini aja, gimana?" ujar Zora memberikan tawaran.
"Boleh, gue sms kaka dulu ye suruh bawain baju sama buku pelajaran" jawabnya.

Tepat pukul 22:00. Mereka sudah merebahkan tubuhnya ke kasur. Malam itu hujan disertai petir lagi. Tetapi.. Zora tidak mendengar suara-suara aneh lagi. Ini hal yang ajaib, Zora sangat mensyukuri itu.

Sudah beberapa minggu ini, tidur Zora sangat nyenyak. Ia tidak lagi takut mendengar suara-suara aneh, melewati rumah pak Tono, dan pak Tono itu.
Tanda tanya besar.
Kenapa? ada apa?. Pertanyaan itu yang selalu terlintas di otak Zora. Zora pun menanyakan hal itu pada kak Seva. Tetapi jawabannya nihil. Kak Seva malah mengolok-olok Zora. Makin hari rasa penasaran itu semakin bertambah. Zora pun berlari kecil, menuruni tangga di rumahnya dan membuka pintu utama rumahnya menuju rumah pak Ali, RT komplek rumah Zora.
"Pak Ali, pak Tono masih ada kan dirumahnya??" tanyanya sambil terengah-engah.
"Lho kok Zora gatau sih, Pak Tono kan sudah meninggal setahun yang lalu" jelas pak Ali.
"HAH?!" teriak Zora tak percaya.
"Iya Zora, pak Tono di temukan meninggal tanggal 4Maret setahun yang lalu. Tak ada bekas luka atau apapun di tubuhnya. Dia pun masih menggunakan baju hitamnya yang jarang di ganti itu. Mungkin karena faktor umur." jelas pak Ali. "mungkin kak Seva tidak memberitahu akan hal ini karena ia takut kamu ketakutan."
Zora hanya duduk termenung tak percaya akan perkataan pak Ali yang baru saja ia dengar di telinganya. Otaknya menerawang jauh, memikirkan dan mengingat kembali akan semuanya yang ia alami. Ia pun membuka lagi memori-memori di dalam otaknya untuk memastikan.. 
Ternyata semuanya sama pesis. Dan ternyata itu benar.


Lalu bayangan hitam itu siapa? suara tertawa kakek-kakek itu siapa? 

Minggu, 06 Mei 2012

Seminggu









Kemarin.
Ya hari itu sangat mengejutkanku, saat seorang pria memeluk erat tubuhku dari belakang yang mendadak lemas saat melihat hasil diagnosa dokter yang menyatakan bahwa aku mengidap penyakit kanker tulang. Menangis tertahan, itu yang aku rasakan. Perasaan bingung masih mengelilingi kepalaku yang terasa sangat berat, tanpa sadar ruangan itu berubah menjadi sangat gelap gelap dan gelap. Aku pingsan. 
"Syukurlah kamu siuman" sembari mengelus-elus rambut Hasyra.
"Adi?kok kamu...?" ujar Hasyra kaget.
"Iya, aku mengikutimu dari toko roti tadi" jawabnya tenang.
Rasa kagetnya bertambah saat melihat dengan mata kepalanya sendiri ada Adi. Seorang Pria yang ia kagumi sejak duduk di bangku SMA. Ia pun merasa sangat lemas, lebih lemas dari biasanya.
"Kamu ngapain disini Di? ini pasti kebetulankan?" ujar Hasyra tak percaya.
"Engga, aku mengikutimu Hasyra" jawabnya dengan sedikit gugup. 
"Maksudmu apa? aku bener-bener gak ngerti Di" tanya Hasyra dengan sangat heran.
"Sekarang aku antar kamu pulang" ujar Adi sembari merangkulkan tangannya ke pundak Hasyra.
"Tapi kamu belum jawab pertanyaanku!" teriak Hasyra kesal.
"Aku akan jawab, setelah kamu sampai rumah" jawab Adi.

Mereka pun meninggalkan rumah sakit yang terletak di tengah-tengah kota itu. Mobil Adi melaju santai menyusuri jalan kota Bogor, suasana yang terasa sejuk sore itu membuat Hasyra sedikit demi sedikit lupa oleh diagnosa dokter yang menyatakan bahwa Hasyra mengidap kanker tulang. Ia pun terlelap.
"Hallo tuan putri, sudah sampai. Bangun" gugah Adi sembari menepuk pelan pipi Hasyra.
"Oh udah sampe ya, cepet banget" ujar Hasyra sembari membuka seatbelt.
Adi pun membantu Hasyra turun dari mobil, sembari merangkulnya dengan sangat lembut. Banyak pertanyaan yang ingin Hasyra tanyakan pada Adi berkenaan dengan hadirnya pria yang ia kagumi sejak SMA ini.
"Kamu belum jawab pertanyaanku" ujar Hasyra sembari mengikat rambutnya.
"Aku tau kamu lelah setelah seharian bekerja" jawab Adi sembari melangkah menuju dapur.
Hasyra menarik nafas panjang dan membuangnya secara perlahan, ia masih tidak percaya akan Adi. "Ini pasti mimpi, ini pasti hanya imajinasiku saja" ujar Hasyra dalam hati. Ia pun mencubit tanganya untuk membangunkannya di mimpi yang sedang berlangsung ini. Tapi, hasilnya Hasyra malah merasakan nyeri pada tanganya sampai-sampai meninggalkan bekas merah. "Ini bukan mimpi!" ujarnya lagi dalam hati. Langakah kaki Adi terdengar sangat jelas saat menghampri Hasyra yang duduk lemas di sofa.
"Ini minum dulu teh-nya, maaf kalau kurang nikmat. Aku kurang bakat dalam menentukan kadar gula yang harus di tuangkan saat membuat teh" ujar Adi yang terlihat cemas. Ia cemas karena takut teh yang ia buatkan umtuk Hasyra malah mebuat Hasyra tambah lemas.
Hasyra pun mencoba meraih teh hangat itu, tapi tangannya sangat terasa lemas. Dengan sigap Adi membantu Hasyra untuk meminum teh yang ia buat. 
"Not bad, kamu berbakat kok sekarang Di!" ujar Hasyra sembari tertawa kecil.
"Ah terimakasih" jawab Adi malu.
"Dan sekarang kamu harus jawab pertanyaan aku Adi" paksa Hasyra. "jangan bilang kamu akan mengundurnya lagi dengan berbagai alasan"
"Oke oke, jadi gini Hasyra. Selama 4 tahun setelah kita lulus SMA aku selalu mengikuti kamu kemana pun kamu pergi. Tetapi, beberapa bulan kebelakang aku sempat putus asa akan sikapmu" ujar Adi dengan sedikit gugup.
Perasaan senang sekaligus bingung sangat tergambar jelas di wajah Hasyra. Ia merasa sangat down saat Adi mengatakan sempat putus asa.
"Putus asa?kenapa?" jawabnya terbata.
"Bunga yang aku simpan di depan rumahmu setiap pagi, coklat putih yang aku simpan di meja kantormu, kumpulan novel dan beberapa keping cd film yang selalu aku kirim setiap minggunya dan yang terakhir aku mengirimkanmu sweater coklat yang aku rajut sendiri selalu kamu hiraukan. Bahkan kamu buang. Itu yang membuat aku putus asa" ujar Adi sembari menundukan kepalanya.
Hasyra memang selalu menghiraukan bunga,coklat,kepingan cd,novel,dan sweater yang ia terima. Ia sangat takut pemberian itu dari seorang pria saiko yang selalu mencegatnya setiap ia pulang dari kantor. Ia tidak menyangka bahwa sesunggunhya Adi-lah yang memberikan semuanya itu. Seseorang yang sangat sangat ia kagumi.
"Dan kamu sangat sangat tidak berusaha sedikit pun untuk mencari tahu siapa yang memberikan itu" Adi menambah ucapnnya.
"Adi, bukan gitu. Aku benar-benar gak tau kalo semua pemberian itu dari kamu. Aku pikir itu dari pria saiko yang selalu mencegatku saat aku pulang dari kantor. Bahkan dia pernah tidur seharian di depan rumah untuk bertemu denganku. Apalagi beberapa bulan ini orangtuaku sedang ada di luar kota. Itu yang sangat membuatku takut untuk menerima semua itu. Aku gak maksud seperti itu Adi" jelasnya dengan raut wajah yang sangat merasa bersalah.
"Dan satu lagi yang harus kamu tahu, selama 3tahun di SMA dan selama 4tahun setelah lulus SMA ini, aku sayang sama kamu. Ini hal utama yang membuat aku bertindak seperti ini Ra" ujar Adi lemas.
Tanpa banyak bicara lagi, Hasyra memeluk Adi yang saat itu sedang duduk di depannya.

Esoknya Hasyra memutuskan untuk tidak pergi ke kantor,meningat badannya yang masih lumayan lemas. Ia pun mengambil ponselnya dan memijit nomor yang ia hafal di luar kepala. Semenjak kejadian tadi malam ia sampai lupa mengabarkan pada orang tuanya bahwa ia mengidap kanker tulang.
"Hallo, ibu?" ucap Hasyra.
"Ya nak? ada apa? lagi dimana sekarang? kok lagi jam ngantor nelfon ibu sih?" jawab ibunya.
Mendengar suara ibunya, Hasyra mengurungkan niatnya untuk memberi tahu kepada ibu dan ayahnya. Perasaan tidak tega sangat jelas ia rasakan.
"Engga ada apa-apa kok bu, aku cuman kangen aja. Udah lama gak telfon. Aku meliburkan diri bu, habisnya aku cape.. hehe" jawabnya berusaha menenagkan diri.
"Oalah nak, pemalesan kamu ini. gimana mau sukses" jawab ibu Hasyra. Terdengar dengan jelas suara ayah di samping ibunya ia pun langsung meminta untuk bicara pada ayahnya.
"Hehe baru sekali ini kok bu, bu ada ayah kan? aku mau ngomong dong" jawab Hasyra
"Hallo Hasyra.." ucap ayah, suaranya yang berat dan khas sangat jelas menunjukan bahwa itu ayahnya.
"Hallo ayah, apa kabar? kapan pulang?" jawab Hasyra.
"baik nak, di usahakan 3minggu lagi. Pekerjaan ayah dan ibu masih numpuk" jelas ayah.
Terdengar suara bel rumah Hasyra yang jelas menunjukan ada sesorang yang mampir kerumahnya.
"Oh begitu yah, eh yah ada yang mampir kerumah yah. Nanti aku telfon lagi. Salam ke ibu ya yah" jawab Hasyra, dengan tergesa-gesa ia langsung melemparkan ponselnya. Ia langsung berjalan ke arah pintu. Dengan langkahnya yang sangat pelan, tulangnya terasa sangat linu dan sakit.
"Hallo..." 
Ternyata Adi, Hasyra dengan cepat mempersilahkan Adi untuk masuk.
"Ini buat kamu" ujar Adi sembari memberikan se-bucket mawar biru. Adi benar-benar tahu bunga yang Hasyra suka.
"Terimakasih Adi..." ucap Hasyra sembari mencium mawar itu, wanginya masih sangat fresh.
"Sama-sama Hasyra, udah makan belum?" ujar Adi dengan penuh perhatian.
"Belum Di, mau gerak aja sakit." jawab Hasyra 
"Yaudah sekarang kita makan yuk, aku mau ajak kamu ke tempat yang kamu suka" ucap Adi.
"Hm boleh, tunggu yah aku ganti baju dulu" sambil berusaha berdiri. 
"Aku bantu yah" ucap Adi sembari membantu Hasyra untuk berjalan.

Adi tahu persis. Tempat makan ini yang sering Hasyra kunjungi sewaktu pulang dari kantor.
Mereka pun memesan makanan, sambil tertawa dan mengobrol. Kurang lebih 1 jam mereka di tempat makan itu. Mereka pun segera pulang kembali.
Sesampainya dirumah Hasyra, ia merasa sangat lemas. Tulang-tulang yang menempel di Tubuhnya terasa sangat benar-benar sakit.
"Malam ini, aku menginap disini boleh?' ucap Adi.
"Hmm, boleh" jawabnya.
Hujan, malam itu terasa sangat dingin. Saking dinginya angin malam itu menembus kulit Hasyra. 
"Ini pake sweaternya" ujar Adi sembari memeberi sweater berwarna abu-abu pada Hasyra.
"Ini bukan sweater aku Di" jawab Hasyra heran.
"Ini yang aku buat sendiri Ra" jawab Adi sembari memakaikan sweater itu pada Hasyra.
"Ohya? kok kamu bisa?" jawab Hasyra heran sesaat sweater hangat itu terpsang di tubuhnya.
"Iya, aku sengaja minta ajari nenekku. Soalnya aku tau kamu sangat menyukai sweater" jawab Adi tenang.
Hasyra benar-benar merasa terpaku. Ia sangat terharu. Benar-benar terharu. Apa yang dia rasakan saat ini sangat membuatnya bahagia walaupun dalam keadaan yang seperti sekarang.
"Wah.. aku pikir itu bakatmu sejak kecil hahaha..." jawab Hasyra sembari tertawa kecil.
"Ah kamu bisa aja" jawab Adi.

"Selamat pagi Hasyra" ujar Adi sembari mencium kening Hasyra.
Hasyra termenung, ia sangat kaget. Euforia bahagia benar-benar ia rasakan.
"Di, mau antar aku ke dokter gak hari ini? aku mau periksa lagi" ujar Hasyra.
"Boleh, dengan senang hati" Adi menjawab.

Sesampainya di rumah sakit, Adi langsung berlali kecil menghampiri suster, ia meminta untuk membawakan kursi roda.
Sang suster itu datang dan membawakan kursi roda pada Hasyra.
"Sudah stadium akhir Hasyra" jelas sang dokter dengan sangat berat hati.
Hasyra hanya duduk lemas, dan tidak mampu untuk mengatakan apa-apa lagi. Beberapa saat kemudian, Adi pun masuk kedalam ruangan sang dokter itu. Hasyra memang sengaja meminta Adi untuk membeli air mineral, agar Adi tidak mengetahui tentang ini.
"Bagaimana dok?'tanya Adi pada sang dokter.
"Kata dokter keadaan aku membaik kok Di" tegas Hasyra, ia dengan sigap menjawab pertanyaan Adi.
"Syukurlah kalau begitu" jawab Adi tenang.

"Ra, hari ini aku harus ke kantor. Maaf ya aku cuman bisa antar kamu" ujar Adi sembari membantu Hasyra turun dari mobil.
"Ohiya, gapapa kok Di. Pekerjaan kamu lebih penting" jawab Hasyra. "hati-hati yah" sembari melambaikan tangannya.
Malam itu, Hasyra menangis. Ini kali pertamanya lagi ia menangis. Terakhir ia menangis saat di tinggal ayah ibunya keluar kota.
Pernyataan dokter yang sangat membuat Hasyra sangat kaget sekaligus sedih. Sudah stadium empat.
Apa hidup aku beberapa minggu lagi? beberapa hari lagi? atau beberapa jam lagi?. Semua yang Hasyra rasakan sangat jauh dari apa yang dia inginkan. Ia selalu ingat, bahwa sejak kecil ia sangat ingin menjadi atlit renang. Mengikuti kejuaraan internasional, dikenal banyak orang, dan membanggakan orangtuanya. Tapi, semuanya terasa sangat rusak. Hasyra merasa sangat gagal. Tangisannya memacah kesunyian rumahnya. Bajunya sangat basah, di basahain air mata yang sangat deras.

Sudah kurang lebih 6hari, Adi menemani hidupnya yang ia rasa sebentar lagi. Orang yang sangat ia kagumi. Dan rasa sayang pada Adi pun makin hari makin bertambah. Adi memberikan perhatian yang sangat lebih pada Hasyra saat keadaannya yang sekarang sangat parah. Hari demi hari Hasyra lewati bersama Adi, ia sangat nyaman dan bahagia. Tetapi, sampai detik ini Adi, Ayah dan Ibu Hasyra tidak mengetahu bahwa penyakit kanker tulang itu sudah stadium empat. Sangat berat untuk Hasyra untuk memberi tahu keadaannya yang sebenarnya pada orang yang ia sayangi selama ini. 

Sampai akhirnya....


Untuk ayah, ibu dan Adi

Terimakasih.. terimakasih yang sebanyak-banyaknya. Terimakasih untuk ayah yang selalu membimbingku dengan sabar, mengajariku dengan penuh kesabaran sejak kecil. Terimakasih telah menjagaku dari pria saiko yang selalu mencegatku saat aku baru pulang dari kantor.Terimakasih untuk semua yang kau usahakan untukku. 
Terimakasih untuk ibu, terimakasih yang sebanyak-banyaknya karena telah melahirkanku, menjagaku tiap malam saat aku masih kecil, menyiapkan bekal makanan untuk ku di kantor, menungguku pulang dari kantor sampai tengah malam. Maaf, apabila aku belum bisa memberikan yang terbaik untuk kalian. Maaf aku belum bisa melihat kalian tersenyum bahagia, melihatku berada diatas pelaminan bersama pria yang baik hati yang bisa menjagaku seperti yang kalian inginkan, maaf aku selalu marah-marah saat ada masalah yang seharusnya tidak diluapkan pada kalian, maaf aku selalu membantah apa yang kalian inginkan, maaf aku selalu menghiraukan nasihat kalian. Maaf aku berbohong akan keadaan aku yang sekarang, aku hanya tidak ingin membuat kalian cemas. Terimakasih telah menemani hidupku selama 21tahun ini yang sangat singkat.

untuk Adi, 

Terimakasih telah menjagaku selama seminggu ini, saat aku merasa sangat lemah, dan saat aku tahu kalau aku mengidap kanker tulang, dan saat aku membutuhkan orang lain untuk membantu hidupku akhir-akhir ini. Terimakasih atas mawar,coklat,novel,kepingan cd dan sweater yang kamu berikan padaku setiap minggunya. Terimakasih telah membuatku tersenyum di keadaanku yang sekarang. Terimakasih telah menjadi seseorang yang membuatku semangat sekolah saat SMA, terimakasih telah menjadi matahari dalam hidup ku, jujur saat aku tahu kalau sebenarnya aku mengidap penyakit kanker ini harapanku untuk hidup sudah pudar, tetapi saat aku tahu bahwa kamu menyayangiku kamu membuat hidupku lebih cerah. Maaf apabila aku sering membuatmu jengkel, membuat mu kerepotan, dan maaf sebelum aku tahu bahwa kamu yang mengirimkan bunga, novel dan lain-lainnya aku menghiraukan bahkan membuangnya.

Sengaja surat ini aku buat untuk kalian, aku tahu akan ada cahaya di depan mataku yang sangat menyilaukan mataku, aku takut sebelum ada cahaya itu, aku belum sempat mengutarakan apa yang ingin aku samapaikan pada kalian.
Sekali lagi aku ingin mengatakan terimakasih dan maaf yang sebanyak-banyaknya untuk kalian.

Sekali lagi, Untuk Adi. Sebenarnya sejak SMA juga aku sudah mengaggumimu. Dan aku juga sayang sama kamu Di....

                                       



                                             With love

                                        Hasyra Putri Kusuma