Aku lebih senang mengurung diri
dikamar. Apalagi saat diriku merasakan sakit yang luar biasa. Sakit karena
penyakitku, atau pun karena masalah lain yang sangat membuat hatiku merasa
sangat sakit. Tak semua masalah aku bisa selesaikan dengan otakku, aku punya
keterbatasan yang sangat membuatku lebih sering manangis dan mengurung diriku
dikamar. Ya, hampir semua masalah aku selesaikan dengan menangis. Menurutku
menangis adalah suatu hal yang sangat membuatku merasa sangat tenang. Walaupun
nyatanya menangis hanya menambah masalah dalam hidupku. Terkadang aku sering
dianggap autis oleh tetangga, teman sekolah, bahkan saudaraku sendiri. Mereka
berpikir aku adalah seorang anak yang memiliki keterbelakangan mental yang
hanya bisa menangis sepanjang harinya, menghabiskan waktu dikamar sambil
menatap keluar jendela yang berada di pojok kamar sambil mendengarkan musik
yang selalu diputar berulang kali. Ini adalah caraku untuk tenang, untuk bisa
mengedalikan pikiranku yang terkadang membuatku ingin menyudahi hidupku yang
sangat kelam ini.
Namaku Shan, aku adalah seorang remaja
perempuan yang kini duduk di bangku kelas 2SMA. Aku berasal dari keluarga yang
sangat memiliki emosi yang tinggi, yang lebih mengedepankan kekerasan dalam
mencari jalan keluar dalam suatu masalah. Aku pun bukan berasal dari keluarga
yang kaya raya, aku berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahku adalah seorang
wiraswata, dan ibuku seorang guru SD. Aku memiliki 2 orang adik, perempuan dan
laki-laki, dan seorang kakak laki-laki yang kini sudah duduk di bangku
universitas.
Suatu hari, lagi dan lagi aku
mendapati ayah dan ibuku sedang cek-cok. Lagi lagi mereka bertengkar, entah
karena masalah apa. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, yang rasanya tidak
udara segar yang aku hirup. Yang aku rasa hanya udara panas yang sangat membuat
hidungku terasa sangat panas. Mungkin karena emosi mereka yang tak terkendali
sehingga udara di sekelilingku terasa sangat panas. Pada saat itu juga aku
mendapati adik lelakiku terluka, bagian tangannya terus mengeluarkan darah
kental yang terus mengucur sampai-sampai menutupi baju seragam putih SDnya. Aku
pun berlari kecil, memeluk erat tubuh adikku dan menanyakan apa yang terjadi,
masalah apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Dengan nada terengah-engah aku
pun menanyakan hal ini pada adikku.
“Ada apa sebenarnya Far?”
Adikku itu tidak menjawab sedikit pun.
Mengucapkan sepatah atau duapatah pun tidak. Untuk mengangkat kepalanya pun
rasanya enggan. Isak tangisya yang terus menerus semakin mengeras itu
benar-benar membuat hatiku terpukul. Aku sangat sedih kala mendapati adik yang
aku cintai menangis, apalagi sampai terluka. Aku berlari ke arah ayah dan ibu.
Aku kesal, sangat kesal.
“Apa yang ibu dan ayah lakukan? Kalian
memukul Gafar? Gafar terluka!”
Tanpa sadar aku telah lancang, aku
berteriak ke arah mereka. Aku bingung, aku sangat benci melihat adikku seperti
ini. Walaupun aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tanpa aku sangka, tangan ayah yang
besar itu melayang kearah pipiku. Seketika ruang tamu dirumahku terasa sangat
hening. Ayah dan Ibu terdiam sekejap sambil melihat kearah ku dengan wajah
datar. Aku pun segera berlari ke kamar, sambil memegangi pipiku yang saat ini
terasa kram. Aku pun menangis lagi, entah untuk keberapa kali semasa aku hidup
ini. Ayah dan Ibu memang sering memukul siapa pun dirumahku yang nakal, yang
tak menurut apa kata mereka. Kecuali kakak lelakiku. Ayah dan ibu sangat
menyayangi kakakku itu, karena kakakku adalah seorang anak yang pintar. Ia
mendapat beasiswa di universitasnnya yang sekarang. Mungkin menurut mereka
mendidik anak-anaknya dengan cara yang keras dapat membuat anak-anaknya itu
menjadi seorang anak yang penurut. Tetapi, apa mereka tak memiliki cara lain?
Mengapa mereka harus mengedepankan kekerasan dalam menididik anak-anaknya?
Tak hanya sekali duakali ayah memukul
pipiku, tetapi sangat sering. Setelah ayah menampar pipiku, tanpa meminta maaf
atau melirikku sedikit pun, ayah hanya duduk diam sambil meredakan emosi pada
jiwanya yang sudah terkendali oleh setan-setan kejam. Hal ini aku rasakan sejak
duduk di kelas 6SD, mereka sering memarahiku dengan kata-kata kasar sepeti
‘tolol’, ‘bodoh ‘ dan ‘anak tak berguna’, dan juga dibarengi dengan
pukulan-pukulan keras yang melayang ke tubuhku yang banyak meninggalkan bekas
biru, bekas pukulan dari tangan mereka.
Aku pun menangis, lagi dan lagi.
Dinding kamar, kasur, meja belajar, lampu gantung dan benda lainnya yang ada di
kamarku menjadi saksi bisu, mereka mengetahui dengan sangat jelas bagaimana
seringnya aku menangis. Benda-benda di kamarku adalah sahabatku yang paling
setia, mereka selalu mendengarkan ceritaku saat aku merasa sangat lelah, saat
aku merasa sangat sedih. Entah pada siapa lagi aku harus bercerita, entah pada
siapa lagi aku harus menangis, mengadu akan semua masalah dihidupku yang telah
berlangsung dengan kelam ini. Mereka selalu ada disampingku untuk mendengar
cerita-cerita tragis dalam hidupku, tak seperti teman-temanku yang lain. Mereka
datang dan pergi begitu saja. Mereka menjauhiku saat tahu bahwa badanku banyak
dilukisi tanda biru lebam bekas pukulan ayah ibuku. Mereka takut aku akan
menyakiti mereka untuk dijadikan pelampiasan. Tak banyak yang aku perbuat, aku
hanya bisa terdiam dan merenungi semua yang telah terjadi. Ini adalah nasib
seorang remaja perempuan yang didik sangat keras oleh orangtuanya.
Walaupun ayah dan ibuku mendidikku
dengan keras, tetapi rasa sayangku pada mereka tak pernah pudar. Walaupun ayah
sering memukulku, walaupun ibu sering menghujat dan mencaciku dengan kata-kata
yang kasar. Aku sangat sayang pada mereka, rasa sayangku kepada mereka bahkan
melebihi rasa sayangku pada diriku sendiri. Entahlah, aku tak tau mereka
menyanyangiku seperti ini atau tidak. Walau bagaimana pun, mereka adalah
orangtuaku yang telah membesarkan dan mebimbingku walaupun dengan cara yang
keras. Dan aku pun tidak tahu ikhlas atau tidakkah mereka membesarkanku.
Tetapi , pada suatu hari, aku muak
dengan semua ini. Aku muak dengan hidupku yang selalu tersiksa, aku yang selalu
dijauhi oleh siapapun yang ada di dekatku, aku yang selalu salah dalam segala
situasi yang sangat menyiksa batinku, luka yang terus bertambah setiap harinya
di badanku, keluarga yang selalu mendidikku dengan keras, orangtua yang selalu
mencaciku seperti mencaci seorang anak tikus, dan aku muak dengan hujatan keras
yang menuding diriku adalah seorang anak pungut. Aku lelah. Aku pun berlari
kecil kearah gudang yang berada diatas loteng rumahku, dan aku membiarkan
tubuhku berada di tengah gudang yang sangat gelap itu, di tambah dengan
kegelapan malam yang saat itu tak dihiasi dengan bintang sedikitpun. Aku
melawan sejuta rasa takutku, Aku ingin mengakhiri hidupku secara perlahan, agar
aku masih bisa mengetahui keadaan mereka, keluargaku yang sangat aku cintai.
Aku ingin mengeram diri didalam gudang selama apapun, sepanjang
hidupku yang kini tersisa. Penyakit jahat yang menggeliat di paru-paruku yang
kini sudah bocor, kini aku hanya bergantung pada alat yang dapat menyelamatkan
hidupku. Yang membantu paru-paru agar terus bekerja, agar aku dapat terus
bernafas. Hidupku yang sangat bergantungan dengan obat, hidupku yang sangat
lemah, hidupku yang tak pernah bisa mengikuti olahraga, atau pun berjalan
dengan jarak dekat sekalipun. Tetapi aku harus menahannya, aku harus bisa melakukkan
itu semua, aku tak ingin terlihat seperti seorang anak yang sakit.
Sudah dua hari ini aku mengeram diri
di gudang gelap yang di penuhi tikus dan laba-laba, yang terlihat sangat kotor.
Mungkin ini adalah tempat paling kotor yang pernah ada. Aku ingin mengetahui
bagaimana reaksi keluargaku, teman-temanku, dan guru-guruku saat aku hilang.
Aku dapat mendengar percakapan apapun yang terjadi dibawah dari gudang yang
terletak di loteng ini. Tetapi nyatanya, tak ada satu pun keluargaku yang mencariku.
Kecuali adik lelakkiku Gafar. Ia menanyakan keberadaanku pada Shefira, adik
perempuanku. Tetapi tak ada jawaban. Aku dapat mendengar jelas adikku Gafar
menanyakan keberadaanku pada Shefira. Aku pun menangis lagi, mataku sering
telihat sembab. Karena terlalu sering aku menangis.
Aku tak mengerti apa yang ada di
pikiran mereka. Mereka tak mencariku, mereka tak mengetahui akan hilangnya
salah satu anggota keluarga mereka. Kecuali Gafar. Ibu pernah mencaciku saat kenaikan
kelas sewaktu aku SMP saat hasil nilai sudah dibagikan, ia mencaciku dengan
kata kasar. Di depan guru dan teman-teman sekelasku “dasar anak bodoh! Tak ada
gunannya keberadaan kamu! Dasar anak tolol!”
Seketika air mataku bercucuran seiring
langkah kaki ibuku yang pergi meninggalkanku di kelas. Aku pun tertunduk, tak
ada lagi yang bisa aku katakan. Hanya satu-satunya sahabatku saat itu yang
merangkulku dan menghapus air mataku. Aku pun memeluknya dengan sangat erat.
Ibu sangat membenciku, ia menganggap aku adalah seorang anak yang bodoh, yang
tidak cerdas dan pintar seperti kakak lelakiku, dan adik-adikku. Padahal aku menderita penyakit Obsessive
Compulsive Disorder atau OCD. Penyakit ini menyerang bagian mental atau jiwa
yang ditandai dengan pemikiran yang selalu berulang-ulang . Dan mengingat terus
menerus peristiwa yang sudah berlalu dan melupakan peristiwa yang baru saja
terjadi. Ini adalah faktor utama yang membuatku sering mendapatkan nilai jelek
disekolah. Dan ayah ibuku tak mengetahui akan hal ini.
Pikiranku menerawang jauh saat itu,
aku membuka kembali memori-memori yang mulanya terkunci rapi di otakku. Aku
mengingat bagaimana bahagianya aku saat aku masih kecil, mereka selalu mencium
pipiku dengan lembut, memangku tubuhku yang mungil setiap kali mereka pulang
bekerja, memelukku dengan sangat erat, menyuapiku nasi goreng yang sangat aku
sukai, membacakanku dongeng setiap malam saat aku hendak tidur, dan mengucapkan
‘Selamat tidur Shan’. Sekarang tindakan itu sangat asing bagiku, aku tidak pernah
merasakan itu lagi. Air mataku terasa semakin deras setelah mengingat kembali
kejadian-kejadian indah yang pernah terjadi saat dulu. Aku pun larut dalam
keadaan malam yang sunyi itu, aku tak lagi mendengar suara ayah, ibu adik, dan
kakakku. Mungkin mereka sudah terlelap tidur.
Esoknya. Aku bangun, sengaja aku
bangun padahal aku merasa sangat lemas. Sudah hampir 3hari aku tak memakan
makanan yang bernutrisi. Aku hanya memakan sebungkus chiki yang aku sisakan
saat istirahat di sekolah 3 hari lalu. Aku hanya memakan sedikit demi sedikit
chiki itu agar dapat terus tersisa sampai selamanya aku akan mengeram diri di
gudang ini. Chiki yang isinya tak seberapa. Pagi ini keluarga yang sangat aku
cintai nampaknya sangat tentram. Aku tak lagi mendengar cek-cok antara ayah dan
ibu, dan tangisan dari adik-adikku. Ini yang membuatku kembali menangis,
keluarga ini rasanya sangat tentram tanpa kehadiranku disitu. Tanpa hadirnya
diriku yang setiap pagi selalu memecahkan gelas yang berisi teh hangat yang
sengaja aku buatkan untuk ayah. Gelas itu selalu pecah karena aku merasa sangat
lemas setiap pagi, dan nafasku tersendat-sendat.
Tetapi , aku merasa senang sekali
walaupun tanpa kehadiranku di tengah mereka, mereka rasanya lebih tentram dan
damai.
Malamnya tubuhku terasa lemah, bahkan
lebih lemah dari biasanya. Aku merasa sangat sulit untuk bernafas, untuk
menghirup udara yang sangat aku butuhkan walaupun hanya sedikit saja. Aku pun
kembali menangis, tetapi nyatanya tangisanku tak lagi membuatku tenang. Aku
kehilangan cara, tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Sampai akhirnya, terdengar
bunyi ketukan pintu di bawah. Aku pun mencoba untuk tenang. Aku pun mendengar
percakapan yang terjadi di bawah. Ternyata itu dari guruku disekolah, aku
merasa sangat senang sekali. Ternyata masih ada yang menyadari akan hilangnya
aku. Aku pun mencoba mendengar kembali percakapan antara ibu, ayah dan guruku.
Maaf pak bu, saya datang
malam-malam. Saya hanya ingin menyampaikan perintah dari kepala sekolah
sekolahan Shan. Kepala sekolah SMA Citrapadu memutuskan untuk mengeluarkan Shan
dari sekolah. Karena Shan sudah 3hari tidak kesekolah dan tidak memberi
keterangan akan ketidak hadirannya selama 3hari ini. Maaf apabila keputusan ini
kami layangkan kepada Shan. Karena SMA Citrapadu sangat mengedepankan ke
disiplinan murid dalam absensi. Dan juga, Shan termasuk anak yang memiliki
nilai yang sangat kecil. Mungkin bapak dan ibu bisa menyekolahkan Shan di
sekolah lain, saya khawatir Shan akan tidak naik kelas. Dan dia sangat sulit
untuk beradaptasi dengan temannya yang lain. Maaf sekali lagi sudah menganggu
bapak dan ibu malam hari seperti ini.
Aku hanya terdiam terpaku, mulutku
yang menganga lebar menandakan bahwa aku tak mempercayai hal ini. Lagi-lagi aku
pun menangis, sambil memeluk kedua kakiku yang terasa sangat dingin. Suasana
disana sangat hening seiring berlalunya guruku yang datang untuk memberikan
kabar buruk, bahkan sangat buruk.
Aku mendengar percakapan ibu dan ayah
yang terdengar sangat marah, dan mereka baru menyadari akan kehilanganku selama
3hari ini. Isak tangisku semakin mengeras, tetapi sepertinya ayah dan ibuku tak
pernah menghiraukan bahkan mungkin sengaja tak mendengar. Tak ada sedikitpun
niat mereka untuk mecari dimana keberadaanku. Aku pun merebahakan tubuhku pada
kardus yang sudah aku susun rapi di gudang usang itu, nafasku semakin
tersendat, dan badanku terasa sangat benar-benar lemas. Aku pun pasrah jika
esok ayah dan ibu memergokiku sedang tertidur gudang dan memukuliku denga sapu
lidi, atau mungkin mereka akan menghabiskan nyawaku.
Aku pun membiarkan tubuhku yang sudah
sangat terasa lemah dengan nafas yang tersendat-sendat di gudang gelap dan
kotor itu. Dengan harapan, ada keajaiban yang datang pada orangtuaku dan
merubah mereka menjadi orangtua yang tidak memperlakukan anak-anaknya dengan
perlakuan yang kasar lagi, dan dapat
menyanyangi anak-anak yang telah mereka besarkan sampai detik ini.
Esoknya perutku terasa sangat lapar,
segera akupun mencari chiki sisa bekas kemarin. Ternyata, hanya tersisa 3biji.
Mau tak mau aku harus melahap habis persediaan makanan yang aku sisakan untuk
sisa hidupku. Tetapi akhirnya aku pun merubah keputusanku untuk melahap habis
sisi chikiku, aku menyisakan 2biji. Aku hanya memakan satu. Rasa haus mulai
menerpaku, tenggorokanku yang kering membuat tenggorkanku terasa sangat sakit.
Aku hanya bisa menelan ludah untuk mengatasai rasa hausku.
Badanku yang sudah 4hari tak aku
mandikan, bajuku yang mungkin sudah bau tercampur air kencing tikus, rambutku
yang sangat kotor yang menyatu dengan debu dan kotoran tikus. Gudang yang
berada di atas loteng yang sangat gelap itu hanya berukuran seperempat dari
ruangan kelasku disekolah. Aku hanya keluar saat aku tak tahan lagi menahan
membuang air kecil. Di samping gudang terdapat WC kecil yang sudah 4tahun ini
tak pernah diurus, aku pun harus membiasaan membuang air kecil disana. Itu pun
dengan menyelinap. Aku pun harus bisa menahan membuang air kecil selama 2hari.
Saat aku keluar untuk memebuang air kecil, cahaya matahari sangat terasa asing
bagiku. Cahaya itu bisa-bisa membunuh secara sekejap. Sangat terang. Sangat
berbeda dengan tempat tinggalku yang sekarang, gudang kotor yang sagat gelap.
Untuk brediri pun aku harus menunduk karena dekat sekali dengan atap. Bahkan
tikus, laba-laba dan binatang lainnya sudh menjadi sahabatku yang sangat setia.
Menemaniku saat aku merasa kesepian, dan mendengarkan cerita-ceritaku.
Tulang-tulang dalam tubuhku terasa
sangat pegal, aku ingin berdiri. Sudah selama 4hari ini aku hanya duduk dan
tidur. Aku pun memutuskan untuk berdiri sebentar saja untuk memulihkan kembali
tulang-tulangku yang terasa pegal. Saat aku berdiri aku lupa, bahkan
benar-benar lupa. Jarak lantai dan atap lumayan dekat. Bodohnya aku, dengan
gerakan cepat dan sekaligus aku berdiri. Kepalaku membentur atap dengan sangat
keras sekali, badanku terasa lemas lebih dari biasanya. Saat itu pula aku jatuh lemas, badanku menyatu
kembali dilantai yang kotor itu.
Sangat sulit bagiku untuk membuka
mata, entah mengapa. Tetapi aku masih bisa merasakan bagaimana dinginnya malam
itu, bunyi gerimis yang sangat jelas di telingaku, tetasan air yang membasahi
tanganku, aku masih bisa maerasakan itu semua. Tetapi mengapa mataku tak dapat
terbuka? Mengapa? Mataku seperti terjahit rapat, sedikitpun tak dapat terbuka.
Untuk bergerak pun sangat sulit. Lalu, aku pun membiarkan kejadian yang sangat
aneh yang sedang terjadi padaku ini berlangsung. Mungkin karena efek kepalaku
yang terbentur atap tadi.
Esoknya, aku mendengar jelas ada suara
ibu, ayah, Gafar, Shefira, dan kak Gio. Mengapa ada suara mereka? apakah aku
sedang bermimpi?. Tetapi sepertinya tidak, akupun masih sulit bergerak dan
membuka mata. Tetapi aku dapat mendengar suara mereka dengan jelas seperti
biasanya. Apa mungkin semalam tadi ayah dan ibu menemukanku di gudang ini dan
mereka menghabisi nyawaku?, setelah mendengar kabar dari guru yang datang ke
rumahku semalam.Apa aku ini sudah meninggal? Ini terlalu cepat bagiku. Tetapi
yang aku rasakan masih seperti sebelumnya.
Aku mendengar sayup-sayup suara Gafar
menangis, ini pasti karena ulah ayah dan ibu lagi yang memarahinya sampai
menangis seperti itu. Ingin rasanya aku berdiri dan memeluk Gafar agar ia
berhenti menangis. Tetapi sangat sulit, sulit sekali. Apa yang terjadi
sebenarnya? Suara tangis Gafar sangat berada jelas di samping telingaku seakan
ia meminta pertolonganku untuk memeluk erat tubuh mungilnya. Lagi lagi aku
hanya bisa menangis. Aku merasa ada tangan hangat yang mengelap air mataku,
terasa sangat hangat. Aku pernah merasakan ini sebelumnya, 3tahun lalu. Aku
tahu ini tangan ibu. Ibu mengelap air mata yang menetes dari mataku, betapa
bahagianya aku saat itu. Ingin rasanya aku memeluk ibu saat itu, tetapi aku
takut. Aku takut ibu melepasnya pelukanku dengan kasar, menamparku, lalu
mencaciku. Tetapi rasa inginku benar-benar memaksaku untuk melakukan itu semua,
tetapi lagi lagi sangat sulit sekali.
Aku mendengar Shefira, dan Kak Gio
menangis. Ada apa ini? mengapa mereka menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi
terhadap keluargaku? Mengapa aku tak
mendegar suara ayah? Ada sesuatu yang terjadi terhadap ayah? Atau ada apa? Ada
apa dengan ini semua? Ingin rasanya aku berteriak sekeras mungkin agar mereka
mendengar pertanyan-pertanyaanku ini, tetapi mereka tak mendegar. Mereka tak
mendegar sama sekali.
Aku merasa sangat putus asa setelah
melakukan teriakan, gerakan, dan membuka mata secara paksa, aku tak mendapat
hasil apa-apa. Aku pun terdiam, untuk mendengar dan mersakan hal apa
sesungguhnya yang terjadi. Aku merasakan suasana saat ini sangat berbeda dari
pada sebelumnya, aku tak mendengar suara-suara tikus, bau pesing yang selalu
terhirup setiap detiknya. Kemana semua itu? Sekarang yang aku rasa ialah harum
pewangi ruangan, sangat harum sekali. Udara yang begitu sejuk.
Tiba-tiba aku mendengar bunyi musik
yang selalu aku dengarkan setiap hari, saat aku merasa sangat sedih. Yanni- In The Morning Light. Siapakah
yang menyetel musik ini?. Akhirnya aku pun merasa sangat tenang, musik itu
berulang kali berputar. Aku pun terlelap.
Rasanya sudah sangat lama aku
terlelap, musik yang aku dengar sebelum aku terlelap sudah tak terdengar lagi.
Lagi lagi mengingatkanku akan semua yang sedang terjadi saat ini. Keadaan
disekitarku terasa sangat sepi, tak ada satupun yang berbicara. Ingin sekali
aku berteriak, berlari dan mencari kemana gerangan ayah, ibu, Shefira, Gafar,
dan kak Gio. Mengapa kebahagiaan yang aku rasakan saat sebelum aku terlelap
begitu cepat menghilang? Mengapa aku tak dapat tetap merasakan itu semua saat
ini?
Aku pun berteriak sekeras mungkin,
hingga urat dalam leherku mungkin saja terlepas. Sampai keringat Dalam tubuhku
menetes deras. Tetapi tak ada yang mendengarku, tak ada jawaban. Atau mungkin
aku belum berteriak? Tetapi aku rasa aku sudah melakukannya. Sampai keringat di
badanku menetes deras seperti ini.
Aku pun terdiam, meredam rasa lelah
dan kesal yang aku rasa. Aku mendengar sayup-sayup suara tangis ibu. Aku pun
terus mencari asal suara tangisan ibu, dari mana? Mengapa sangat jauh? Mengapa
ibu memanggil-manggil namaku disela tangisannya? Ada apa sebenarnya? Mengapa
ibu menangis?.
Aku muak! Mengapa aku tak dapat
bergerak? Aku ingin mencari dimana ibu, aku ingin memeluk ibu, aku ingin
mengusap air matanya. Lagi lagi aku pun menangis untuk kesekian kalinya. Selang
beberapa menit, aku pun mendengar suara ayah. Ayah pun merintih, ia merintih
memohon pada seseorang. ‘Tolong…..’. mengapa ayah berkata seperti itu? Aku pun
mencoba untuk mendengar kembali perkataan ayah.
Lalu aku mendengar suara seorang
lelaki paruh baya yang berkata “Iya, kami sedang berusaha pak”
Lelaki itu berusaha untuk apa? Mengapa
ayah mengemis meminta tolong? Ya Tuhan… cukup aku merasakan seperti ini. banyak
seklai pertanyaan dalam benakku yang tak terjawab. Ada apa sebenarnya denganku?
Rasanya aku sangat lelah sekali, aku sangat lelah untuk terus bertanya tanpa
ada sedikit pun jawaban, aku lelah untuk terus mencoba bergerak tetapi nyatanya
sulit, aku lelah mendengar tangisan keluargaku, aku lelah mendengar rintihan
ayah yang terus menerus meminta tolong.
Sampai pada akhirnya, aku memutuskan
untuk meredam semua ke-lelahanku dengan menangis. Sampai akhirnya aku tenang
dan terlelap.
Esoknya, aku mencoba menggerakan
jemariku. Ternyata membuahkan hasil, aku dapat menggerakan jariku. Setelah itu
aku mencoba untuk membuka mata, dengan perlahan aku pun mencoba membuka mata.
Dan akhirnya, aku dapat melihat lampu yang menyala terang tepat di atas mataku.
Tetapi rasanya sangat silau, mataku tak dapat
terbuka dengan lebar. Aku pun memalingkan wajahku, aku menoleh ke arah
kiri, lalu aku pun membuka mata. Dan untungnya tidak terlalu silau seperti
sebelumnya. Samar-samar aku melihat seorang perempuan dan 2orang anak kecil
sedang tertidur di atas sofa. Rasa penasaran membakar pikiranku, siapa
perempuan dan 2orang anak kecil yang berada di sofa itu? Aku pun mencoba untuk
melihat dengan jelas siapakan ketiga orang itu? Ternyata…… itu ibu, Gafar, dan
Shefira.
Aku pun mencoba untuk berteriak
memanggil ibu, “Bu…Ibu…”. Tetapi ibu tak mendegarku, mungkin karena suaraku
yang merintih. Aku tak kuat untuk berteriak, tenagaku belum terkumpul dengan
penuh untuk berteriak.
Sepertinya adikku Shefira mendengarku
memanggil ibu, ia pun melihat ke arahku dan berlari kecil ke arahku. “Kakak
udah bangun ya ka. Aku kangen kakak, kakak tidur terus”. Tanpa sadar aku pun
menangis, perkataan Shefira membuatku merasa sangat terharu. Belum sempat ak
menjawab pertanyaannya, ia sudah berlari ke arah ibu dan membangunkan ibu yang
sedang terlelap di sofa itu. Ibu langsung melihatku yang sedang terbaring lemah
dan berlari kecil lalu memeluku dengan sangat erat. Air mata ibu jatuh tepat di
pundakku, dan aku dapat merasakannya. Segera aku pun menanyakan apa yang
terjadi pada ibu, “Bu, ada apa ini? ibu kenapa menangis?”. Ibu hanya menundukan
kepala dan tak menjawab perrtanyaanku, ia terus menerus menangis. Segera aku
mengusap air mata ibu, aku tak peduli akan cacian ibu yang sering ibu layangkan
padaku sebelumnya yang mungkin akan terjadi lagi saat itu. Tetapi nyatanya,
saat aku mengusap air mata ibu, ia tak marah dan mencaciku, ia hanya
memandangku dengan penuh rasa bersalah.
Tiba-tiba terdengar suara pintu yang
terbuka, ayah dan kak Gio. Mereka melihatku sedang mengusap air mata ibu,
mereka pun langsung menghampiri aku dan ibu. Ayah pun langsung memelukku dengan
sangat erat, begitu pula kak Gio. Perlakuan mereka saat itu membuat tangisanku
menjadi-jadi.
Tanpa aku sadari, ternyata aku sedang
berada di rumah sakit. Tangan ku yang di penuhi bekas jarum, dan juga selang infuse
yang sedang menempel di kulitku. Selang beberapa menit, setelah aku membiarkan
ayah, ibu, Shefira, Gafar, dan kak Gio merasa tenang, aku pun menanyakan apa
sebenarnya yang terjadi. Dengan tegar, ayah pun menceritakan apa yang terjadi
sebenarnya. Lagi lagi aku pun menangis setelah mendengar ayah menceritakan apa
yang sebarnya terjadi, segera aku pun memeluk ayah yang saat itu sedang duduk
di sampingku sambil menundukan kepalanya.
Ibu dan Ayah pun terus menerus meminta
maaf kepadaku, memeluku dan menciumku. Sampai-sampai aku benar-benar mendengar
kata-kata yang sangat indah yag terakhir aku dengarkan saat aku masih kecil.
“Ayah dan Ibu berjanji untuk selalu
menjagamu dan menyayangimu Shan, maafkan untuk semuanya……”